BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehadiran agama Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-qur’an dan Hadits tampak amat ideal dan
agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang
dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan
kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi
pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Al-qur’an adalah
moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial.
Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan
muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara
aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama
tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar
disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara
yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab mana kala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis
dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara
operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu
dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut
meliputi pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis,
historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan
ini, Jalaluddin Rahman mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan
berbagai paradigma.
B.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan Umum
·
Mengidentifikasi
berbagai pendekatan dalam studi Islam.
·
Menjelaskan
pendekatan normatif dalam studi Islam.
·
Menjelaskan
pendekatan sosial humaniora dalam studi Islam.
·
Menerapkan
beberapa pendekatan dalam studi Islam.
2.
Tujuan Khusus
·
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi
Islam pada jurusan Syari’ah Muamalah wal Iqtishad di Fakultas Syari’ah IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh.
·
Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa IAIN
Ar-Raniry untuk mempelajari mata kuliah Metodologi Studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat
diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
agama dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin
Abdullah mengatakan bahwa teologi, sebagai mana kita ketahiu tidak bisa tidak
pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri,
komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.
Menurut pengamat Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4
prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis, mesianis, dan tradisionalis. Ke empat prototipe pemikiran keagamaan
tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja.
Masing-masing mempunyai ”keyakinan” teologi yang sering kali sulit untuk
didamaikan.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam
pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan
lainnya sebagai salah.
Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologis semata-mata tidak dapt
memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Berkenaan dengan hal diatas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan
istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami
penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas
sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini,
yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub : teks dan situasi : masa lampau
dan masa kini.
B. PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta
kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat berarti pula
mencari hakikat sesuatu, berusaha menurutkan sebab dan akibat serta berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum bahasa Indonesia,
Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala
yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu.
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi
Gazalba. Menurut filsafat adalah berfikir secara mendalam, sitemik radikal dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikma atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asa dan inti yang terdapat di
balik yang bersifat lahiriah.
C. PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan
pelaku dari peristiwa tersebut.[1]
Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa
itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dal peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke
alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat
adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agam, karena
agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan
kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan
studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa
pada dasarnya kandungan Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kta mendapati banyak sekali
istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang
khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan
pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin
diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu
Al-Qur’an, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk
mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas
istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, dan
dengan demikian, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang
bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akhirat,
Ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep
tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, Al-Qur’an bermaksud
membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada
bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan Al-Qur’an ingin mengajak
dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.[2]
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan
yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka
seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang
yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus
memahami sejarah turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi
turunnya Al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang
pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang
akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan
dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan
memahaminya.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke
alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan
melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam
idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
D. PENDEKATAN ANTROPOLOGI
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui ini pendekatan agama tampak
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya.
a. Antropologi Sebagai Bidang
Ilmu Humaniora
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisipasi
yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan
menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode
komgeratifi.[3]
Tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan
kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi
menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan karenanya membuat
kita saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.[4]
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang
berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat
kepada penghidupan dan eksitensis manusia menurut Elwood mendefinisikan
”Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya,
beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat
tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian
bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah,
bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan
pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.[5]
Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang
kesemuanya memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai
manusia. Bagi para humanis bahan antropologis juga sangat penting. Dalam
deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional
biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik
dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para
humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.[6]
b. Ilmu-ilmu Bagian Dari
Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu
perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya
yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus:
1.
Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia
(evolusinya) secara biologis.
2.
Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk
manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya.
3.
Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran
aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
4.
Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya
aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
5.
Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia
dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi
masa kini.
c. Signifikasi Antropologi
Sebagai Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang
digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah
digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana
dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan langsung bahkan sifatnya
partisipatif.[7]
E. PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono
Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi
diri terhadap persoalan penilaian.
Dari dua definisi terlihat sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai
gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif,
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1.
Pertama,
dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam
bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan
bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut
kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada
seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2.
Kedua,
bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah
yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.
Ketiga,
bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih
besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang
dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang
dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh
derajat.
4.
Keempat,
dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya
(tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.
Kelima,
dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru
dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari
ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan
diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan
masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini
selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
memahami agamanya.[8]
Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh
manusia dalam kehidupannya. Pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang
pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti
dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan lain
sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang
didalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya atau
tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan
seseorang dalam suatu masyarakat.[9]
BAB III
PENUTUP
Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam
memahami Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak dapat dianggap
sepele. Karena penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang dapat
mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak meguasai
metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh
karenanya disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu
perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang
dimilikinya dapat dikembangkan.
Diantara metode studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, metode komparasi yaitu suatu cara
memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam
tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan
pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara
memahami Islam yang memandukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang
rasional, abyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative.
Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan
histories, empiris, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative
digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode
teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama-agama
yang mutlak benar. Hal ini didasarkan karena agama berasal dari Tuhan, dan apa
yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agama pun mutlak benar. Setelah itu
dilanjutkan dengan melihat agama sebagai norma ajaran yang berkaitan dengan
berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.[10]
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin
dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang
harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian,
pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari
teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan
dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative,
antropologis, sosiologis, psikolohis, histories, kebudayaan, dan pendekatan
filosofis. Adapun pendekatan yang dimaksud disini (bukan dalam konteks
penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang
ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini,
Jalaluddin Rahman mendasarkan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan
berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai
kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu
tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial,
penelitian filosofi, atau penelitian legalistik.
DAFTAR PUSTAKA
Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hlm.105.
Dr. Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah, hlm. 129.
Ir. Drs. M. Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco,
1993, hlm. 152-154.
Bets F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta:
CV. Rajawali, 1988, hlm.87.
Prof. Dr. H. Abuddin Noto, MA., Metodologi Studi Islam, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 35.
Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed),
Metodologi Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), cet. II, hlm.92.
[1] Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hlm.105.
[2] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Metodologi….., Op, Cit., hlm.48.
[3] Dr. Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah, hlm. 129.
[4] Ibid, hlm. 12.
[5] Ir. Drs. M. Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco,
1993, hlm. 152-154.
[6] Bets F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta:
CV. Rajawali, 1988, hlm.87.
[7] Prof. Dr. H. Abuddin Noto, MA., Metodologi Studi Islam, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 35.
[8] Abuddin Noto, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 40.
[9]
Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi
Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1991.
[10] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.112-113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar