Rabu, 04 Mei 2011

Fatwa Kontemporer


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Anugrah akal yang diberikan Allah kepada manusia menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin tahu, berkembang dan berinovasi. Melalui jalan ijtihad, manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk mencari jawaban atas permasalahan baru dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam melakukan ijtihad. Jalan ijtihad inilah yang menjadi salah satu sebab ajaran Islam mampu menjawab setiap persoalan umat manusia yang semakin banyak dan kompleks.

Dengan begitu, mengingat ketatnya syarat dan kriteria untuk melakukan ijtihad dan sulitnya seseorang boleh melakukan ijtihad, maka dengan sendirinya ijtihad tidak mungkin dilakukan oleh setiap orang. Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri, wajib baginya untuk mengikuti pendapat orang-orang yang ahli, yang dalam hal ini adalah ulama.
Saat ini, sudah jarang sekali ditemukan fatwa yang dilakukan oleh perorangan karena menjadi suatu yang berat bagi seorang individu untuk menguasai berbagai sisi keilmuan yang komprehensif sebagai prasyarat sebagai seorang mufti (memberi fatwa). Yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini adalah fatwa yang dilakukan secara kolektif, yang pada umumnya dilakukan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam organisasi keislaman tertentu.
Di antara contoh fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga atau organsasi sosial kemasyarakatan seperti, Majmah Albuhust Al-Islami, Majmah Al-Fiqh Al-Islami, Rabitah Alam Al-Islami, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan orgasnisasi keislaman lainnya. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun ia tidak punyak kekuatan hukum yang mengikat (ghair mulzimah).
Memang jika dilihat dari sejarahnya, fatwa sebagai salah satu pranata dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu, terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa. Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial kulturnya.
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.

B.     TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Tujuan Umum :
Ø  Mengidentifikasi permasalahan tentang fatwa kontemporer yang meliputi fatwa individu dan fatwa kolektif.
Ø  Mengidentifikasi perkembangan fatwa individu maupun kolektif di masa sekarang ini.

2.      Tujuan Khusus :
Ø  Untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Fatawa fil Muamalah pada jurusan Syari’ah Muamalah wal Iqtishad di Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Ø  Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa IAIN Ar-Raniry untuk mempelajari mata kuliah Al-fatawa fil Muamalah pada jurusan Syari’ah Muamalah wal Iqtishad.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PROLOG : TERBUKANYA PINTU IJTIHAD
Dalam Irsyad ul-Fuhul-nya yang terkenal, As-Syaukani menyatakan: "Barang siapa yang membatasi karunia Allah hanya kepada sebagian hamba-Nya, dan membatasi pemahaman akan syariat hanya bagi orang-orang yang terdahulu, maka ia telah berani (menentang) kepada Allah swt, lalu kepada syariat-Nya yang diperuntukkan bagi setiap hamba-hamba-Nya, dan kepada hamba-hamba-Nya yang menyembah Allah dengan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan as-Sunnah (Hadits)."[1]
Pernyataan As-Syaukani di atas tak lain merupakan bantahan bagi beberapa kalangan yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad dan membatasi kompetensi ijtihad hanya dimiliki oleh para cendekiawan Islam masa lalu. Bukan hanya As-Syaukani yang tidak sepakat dengan hal ini, bahkan pendahulunya, As-Suyuthi sampai menulis buku khusus guna menjelaskan terbukanya pintu ijtihad, yang ia beri judul: ar-Rad 'ala Man Akhlada il al-Ardhi wa Jahila Ann al-Ijtihada fi Kulli Ashrin Fardhun.
Historisitas berkembangnya opini tertutupnya pintu ijtihad dimulai setelah abad keempat hijriah. Akibatnya menjamurlah di kalangan umat Islam kebiasaan Taqlid (Mengikuti pendapat orang lain). Akibat menjamurnya Taqlid tersebut, maka marak keputusasaan dalam ibadah pada beberapa kalangan umat Islam, yang sebenarnya sangat dilarang oleh para cendekiawan Islam. Efek dari semua itu kemudian adalah berkembangnya persepsi sulitnya mencapai kompetensi berijtihad. Padahal sebelum itu, setelah Rasulullah saw wafat, ijtihad selalu terbuka bagi para pakar yurisprudensi Islam, sebagai refleksi atas munculnya tema-tema yang belum pernah ada pada masa sebelumnya.[2]
Nah, jika  pada masa lampau saja fenomenanya demikian, maka sudah barang tentu pada masa kini masalah-masalah baru lebih kompleks dan ijtihad lebih dibutuhkan lagi. Kompleksitas problematika dari masa ke masa tersebut sebenarnya sudah menjadi bukti kuat akan terbukanya pintu ijtihad di setiap masa. Sebab jika tidak, sifat elastisitas (al-Murunah) dan Shalihah Li Kulli Zamanin Wa Makanin yang selalu disematkan bagi syariat Islam akan tercerabut secara otomatis.
Oleh karena itu, Prof. DR. Abdussalam Abbadi, Sekjen Majma' ul-Fiqh il-Islami, menyatakan bahwa logika manusia tidak akan menerima opini tertutupnya ijtihad. Sebab, berbicara soal fikih (hukum-hukum Islam), berarti berbicara tentang kehidupan dan hukum-hukumnya dengan segala perkembangan dan perubahannya.[3]
Namun untuk menuju sebuah ijtihad, problem yang muncul pada masa kini adalah keterbatasan para cendekiawan Islam kontemporer, dalam penguasaan berbagai cabang keilmuan baik keislaman maupun keduniawian yang terkait dengan masalah baru yang muncul tersebut yang kemudian menimbulkan keputusasaan sebagian kalangan akan kemungkinan terjadinya ijtihad yang profesional dan proporsional. Oleh karena itu dibutuhkan cara yang efektif dalam metodologi ijtihad, sehingga proses ijtihad yang profesional dan proporsional tetap berlangsung terus-menerus.

B.     FATWA INDIVIDUAL DAN FATWA KOLEKTIF
Lazimnya, fatwa lahir dari sebuah ijtihad atas sebuah fenomena tertentu di masyarakat. Hanya saja, banyak kalangan yang memahami bahwa era ijtihad, khususnya personal, sudah ditutup semenjak meninggalnya para imam madzhab; Malik, Hanafi, Syafi’I, Hambali.
Pasca era imam madzhab, para ulama memberikan standar-standar yang sangat rumit dan tak memungkinkan untuk melakukan ijtihad. Padahal, Islam menempatkan posisi yang sangat istimewa terhadap ijtihad sebagai bentuk dari kebebasan berpikir.
Tentu, ijtihad disini sebagaimana makna generiknya “bersungguh-sungguh” tidak sekedar berpikir sederhana, melainkan berpikir secara mendalam dan jernih tentang suatu pokok soal tertentu. Apalagi ketika menyangkut jamak orang, hidup bermasyarakat dan bernegara, maka fatwa perlu kehati-hatian dan kedalaman dalam memahami duduk perkara.
Fatwa ini ada dua bentuknya:
1.      Fatwa perorangan (individual), seperti fatwa Syekh Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, fatwa imam besar Masjid Istiqlal, dan lain-lain.
2.      Fatwa kolektif, berupa lembaga atau komisi.
Fatwa MUI termasuk fatwa kolektif yang dikaji dan ditetapkan melalui Komisi Fatwa. Demikian juga, Nahdlatul Ulama, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Majma' al-Buhuts al-Islami, Majma' al-Fiqh al-Islami, Rabithah al-'Alam al-Islami, dan lembaga fatwa lainnya.
Fatwa MUI ada tiga macam:
1.      Fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika.
2.      Fatwa tentang perekonomian Islam.
3.      Fatwa tentang masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Penetapan fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI bekerjasama dengan LP. POM MUI. Komisi Fatwa menetapkan kehalalannya berdasarkan hasil penelitian dan auditing LP POM MUI. Sedangkan fatwa tentang masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya dikaji dan ditetapkan Komisi Fatwa MUI.
Secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum dan maqashid asy-syariah (tujuan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum syariat). Dengan penjelasan seperti ini, menunjukan bahwa fatwa MUI tidak muncul begitu saja dan spontanitas,  tapi melalui proses panjang dan pertimbangan matang dengan menggunakan metodologi dan kaedah yang sudah dirumuskan oleh para ulama.

C.    IJTIHAD KOLEKTIF: SEBAGAI CARA YANG EFEKTIF DALAM IJTIHAD KONTEMPORER
          Sudah menjadi hal yang aksiomatis (al-Musallamat) bahwa pendapat kolektif akan lebih mendekati kebenaran dibanding pendapat individual (al-fardi). Oleh karena itu, sistem permusyawatan (as-Syura) dalam memecahkan perkara-perkara yang muncul sangat dijunjung sekali oleh Islam. Di dalam al-Qur'an, Allah swt memuji system as-Syura yang dilakukan oleh umat Islam :
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka"  (QS. Asy-Syuura [42]: 38).
Bertolak dari pemikiran di atas dan demi mencapai idealisme profesionalitas dan proporsionalitas dalam berijtihad, maka ijtihad kolektif (al-Jamai') merupakan jalan yang cukup efektif dalam perkembangan ijtihad kontemporer.
          Ada beberapa alasan bagi efektifitas ijtihad kolektif di masa kini. Di antaranya adalah:
1.      Problematika kontemporer yang bervariasi dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia.
          Interaksi perbankan, perdagangan bursa, variasi jenis asuransi, transaksi-transaksi ekonomi modern dan pencakokan anggota badan adalah contoh-contoh masalah kontemporer yang tidak cukup dibahas dan ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan para cendekiawan Islam kontemporer seperti yang saya sebutkan di atas. Dalam membahas masalah-masalah di atas diperlukan adanya musyawarah dan ijtihad kolektif, karena tidak cukup hanya mengandalkan penguasaan ilmu-ilmu keislaman saja, namun juga diperlukan penguasaan ilmu-ilmu keduniawian yang berkaitan dengan problematika kontemporer tersebut.
2.      Terjadinya spesialisasi (at-Takhashush) keilmuan pada diri para cendekiawan Islam kontemporer.
          Seperti diketahui bersama bahwa pada masa kini, sangat sulit kita temukan seorang cendekiawan Islam yang ensiklopedis (al-Mausui'). Justeru fenomena yang berkembang adalah terjadinya spesialisasi keilmuan pada bidangnya masing-masing. Spesialisasi tersebut meliputi bahasa Arab, fikih, ushul fikih, tafsir, hadits dan lain sebagainya. Padahal di antara syarat-syarat ijtihad yang disebutkan oleh para ulama adalah penguasaan berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman tersebut.[4] Fenomena ini meniscayakan akan urgensitas ijtihad kolektif yang diikuti oleh para cendekiawan Islam dengan spesialisasinya masing-masing, sehingga syarat-syarat ijtihad dapat terpenuhi.
 
3.      Banyaknya terjadi perselisihan dan kontroversi.
          Di antara sebab-sebab terjadinya perselisihan antara umat Islam adalah banyaknya perbedaan fatwa-fatwa individu. Hal ini membuat kesulitan bagi umat Islam untuk memilih di antara fatwa-fatwa yang berkembang. Bahkan pada beberapa kasus bisa terjadi bentrokan fisik antara umat Islam karena perbedaan fatwa-fatwa individu tersebut. Maka pada kondisi seperti ini dibutuhkan forum ijtihad kolektif, guna menghasilkan fatwa-fatwa kolektif, yang dapat mengantisipasi terjadinya perselisihan tersebut di atas.
 
D.    IJTIHAD KOLEKTIF DALAM SEJARAH
          Sebenarnya secara praktis, ijtihad kolektif bukanlah hal yang baru. Sebab sejak era Rasulullah saw hal itu sudah dipraktekkan. Karena ijtihad kolektif tak ubahnya bagai sistem Syura yang sangat dianjurkan Islam :
"…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…" (QS. Ali Imran [3]: 159).
Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz. Saat itu Rasulullah saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah swt yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh mereka :
"Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]: 67).[5]
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah saw. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun tidak menyeluruh, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun hanya sebuah kekurang sempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.[6]
          Mungkin kita juga tidak asing dengan sejarah permusyawaratan yang dilakukan Rasulullah saw dengan para sahabatnya, untuk menentukan cara yang baik dalam memberitahukan umat Islam tentang masuknya waktu shalat. Saat itu di antara para sahabat ada yang berpendapat dengan memukul lonceng. Ada yang berpendapat dengan meniup terompet . Ada juga yang berpendapat dengan menyalakan api. Namun Rasulullah saw tidak menyepakati mereka karena hal-hal itu menyerupai kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi. Kemudian Rasulullah saw menyepakati pendapat Abdullah bin Yazid dengan cara azan yang masyhur sampai saat ini. Pendapat Abdullah tersebut diperoleh lewat mimpi, yang kemudian disepakati oleh Umar bin Khattab dengan mimpi yang sama.[7]
          Fenomena Ijtihad-ijtihad kolektif yang dilakukan Rasulullah saw dengan para sahabatnya seperti dua contoh di atas, merupakan terjadi ketika terdapat sebuah permasalahan dan wahyu Allah swt belum turun saat itu untuk menjawab permasalahan tersebut.
Sistem Syura yang dicontohkan Rasulullah saw di atas selanjutnya diikuti turun temurun dari era 'sahabat' dan tabiin sampai saat ini. Sebagai contoh, dalam I'lam ul-Muwaqiin, Ibn Qayyim Al-Jauziah menulis: "Jika datang suatu perkara --yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits-- pada Amir ul-Mukmimin Umar bin Khattab, (untuk memecahkannya) Ia kumpulkan para sahabat Rasulullah saw, lalu ia bentuk permusyawaratan (Syura) di antara mereka."[8]

E.     FORUM-FORUM IJTIHAD KOLEKTIF KONTEMPORER
Di masa kini, ijtihad kolektif sudah dilembagakan atau dibentuk sebuah forum oleh institusi-institusi Islam terkenal. Paling tidak ada tiga forum besar dan terkenal yang menerapkan ijtihad kolektif di masa kini.
Forum-forum tersebut adalah :
1.      Majma' ul-Buhuts il-Islamiah yang didirikan pada tahun 1381 H./1961 M, bertempat di Al-Azhar Mesir.
2.      Al-Majma' al-Fiqhi milik Liga Dunia Islam (Rabithath il-Aalam il-Islami) yang berkedudukan di Makkah, didirikan pada tahun 1398 H.
3.      Majma' ul-Fiqh il-Islami milik OKI (Organisasi Konferensi Islam) atau Munadzamat ul-Mu'tamar il-Islami yang bersekretariat di Jeddah, yang berdiri setelah Mu'tamar ul-Qimmah al-Islamiah pada tahun 1401 H./1981 M.[9]
          Ketiga forum di atas, sejak awal didirikannya, telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan bagi penyelesaian problematika umat Islam di seluruh dunia, dari permasalahan agamis sampai permasalahan sosial umat Islam. Hal itu dapat kita lihat dari fatwa-fatwa atau keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh ketiga forum tersebut pada setiap periode konferensi.

PENUTUP
Fatwa ini ada dua bentuknya:
1.      Fatwa perorangan (individual), seperti fatwa Syekh Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, fatwa imam besar Masjid Istiqlal, dan lain-lain.
2.      Fatwa kolektif, berupa lembaga atau komisi.
Secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum dan maqashid asy-syariah (tujuan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum syariat).
Ada beberapa alasan bagi efektifitas ijtihad kolektif di masa kini. Di antaranya adalah:
1.      Problematika kontemporer yang bervariasi dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia.
2.      Terjadinya spesialisasi (at-Takhashush) keilmuan pada diri para cendekiawan Islam kontemporer.
3.      Banyaknya terjadi perselisihan dan kontroversi.
Ada tiga forum besar dan terkenal yang menerapkan ijtihad kolektif di masa kini. Forum-forum tersebut adalah :
1.      Majma' ul-Buhuts il-Islamiah yang didirikan pada tahun 1381 H./1961 M, bertempat di Al-Azhar Mesir.
2.      Al-Majma' al-Fiqhi milik Liga Dunia Islam (Rabithath il-Aalam il-Islami) yang berkedudukan di Makkah, didirikan pada tahun 1398 H.
3.      Majma' ul-Fiqh il-Islami milik OKI (Organisasi Konferensi Islam) atau Munadzamat ul-Mu'tamar il-Islami yang bersekretariat di Jeddah, yang berdiri setelah Mu'tamar ul-Qimmah al-Islamiah pada tahun 1401 H./1981 M.


DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, al-Imam, Irsyad ul-Fuhul Ila Tahqiq il-Ilm il-Ushul H. 423, Muassat ul-Kutub its-Tsaqafiah Beirut-Lebanon.
Lih: Az-Zuhayli, Wahbah, DR., Ushul ul-Fiqh il-Islami, 2/1061 dan 1170. Daar ul-Fikr, Damaskus-Suriah.
Pernyataan DR. Abdussalam Abbadi tersebut, penulis dengar dan saksikan saat beliau datang ke Institut Syeikh Ahmad Kuftaro, Damaskus, dan sempat menyampaikan ceramah dengan judul: Majma' ul-Fiqh il-Islami dan perannya dalam menyelesaikan problematika kontemporer, pada tanggal 12 Mei 2008 M . yang lalu.
Lih: Hiito, Muhammad Hasan, DR., Al-Wajiz fi Ushul it-Tasyri il-Islami H. 496-500, Muassat ur-Risalah Nasyiruun, Beirut-Lebanon, dan lih: Az-Zuhayli, Op.Cit H.1071-1079.
Lih: Ibn al-Arabi, Ahkam ul-Qur'an 2/131, Maktabat us-Syamilah
Lih: Al-Bhuti, Muhammad Said Ramadhan, DR., Fiqh us-Sirat in-Nabawiyah H.199, Cetakan kelima, Universitas Damaskus.
Lih: al-Habash, Muhammad, DR., Siratu Rasulillah saw H.132-134, Daaru Afnan, Damaskus. Lihat juga di berbagai buku Sejarah Rasulullah saw.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam ul-Muwaqiin 1/85, Maktabatu Daar il-Bayan, Damaskus-Suriah.
Lih: Ismail, Sya'ban Muhammad, DR., al-Ijtihad ul-Jamai Wa Daur ul-Majami' il-Fiqhiati Fi Tathbiqihi H. 137-218, Daar ul-Basyair il-Islamiah, Beirut-Lebanon.


[1] Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, al-Imam, Irsyad ul-Fuhul Ila Tahqiq il-Ilm il-Ushul H. 423, Muassat ul-Kutub its-Tsaqafiah Beirut-Lebanon.
[2] Lih: Az-Zuhayli, Wahbah, DR., Ushul ul-Fiqh il-Islami, 2/1061 dan 1170. Daar ul-Fikr, Damaskus-Suriah.
[3] Pernyataan DR. Abdussalam Abbadi tersebut, penulis dengar dan saksikan saat beliau datang ke Institut Syeikh Ahmad Kuftaro, Damaskus, dan sempat menyampaikan ceramah dengan judul: Majma' ul-Fiqh il-Islami dan perannya dalam menyelesaikan problematika kontemporer, pada tanggal 12 Mei 2008 M . yang lalu.
[4] Lih: Hiito, Muhammad Hasan, DR., Al-Wajiz fi Ushul it-Tasyri il-Islami H. 496-500, Muassat ur-Risalah Nasyiruun, Beirut-Lebanon, dan lih: Az-Zuhayli, Op.Cit H.1071-1079.
[5] Lih: Ibn al-Arabi, Ahkam ul-Qur'an 2/131, Maktabat us-Syamilah
[6] Lih: Al-Bhuti, Muhammad Said Ramadhan, DR., Fiqh us-Sirat in-Nabawiyah H.199, Cetakan kelima, Universitas Damaskus.
[7] Lih: al-Habash, Muhammad, DR., Siratu Rasulillah saw H.132-134, Daaru Afnan, Damaskus. Lihat juga di berbagai buku Sejarah Rasulullah saw.
[8] Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam ul-Muwaqiin 1/85, Maktabatu Daar il-Bayan, Damaskus-Suriah.
[9] Lih: Ismail, Sya'ban Muhammad, DR., al-Ijtihad ul-Jamai Wa Daur ul-Majami' il-Fiqhiati Fi Tathbiqihi H. 137-218, Daar ul-Basyair il-Islamiah, Beirut-Lebanon.

Tidak ada komentar: