BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anugrah akal yang diberikan Allah kepada manusia menjadikannya sebagai
makhluk yang selalu ingin tahu, berkembang dan berinovasi. Melalui jalan
ijtihad, manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk mencari jawaban atas
permasalahan baru dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan
dalam melakukan ijtihad. Jalan ijtihad inilah yang menjadi salah satu sebab
ajaran Islam mampu menjawab setiap persoalan umat manusia yang semakin banyak
dan kompleks.
Dengan begitu, mengingat ketatnya syarat dan kriteria untuk melakukan ijtihad dan sulitnya seseorang boleh melakukan ijtihad, maka dengan sendirinya ijtihad tidak mungkin dilakukan oleh setiap orang. Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri, wajib baginya untuk mengikuti pendapat orang-orang yang ahli, yang dalam hal ini adalah ulama.
Saat ini, sudah jarang sekali ditemukan fatwa yang dilakukan oleh
perorangan karena menjadi suatu yang berat bagi seorang individu untuk
menguasai berbagai sisi keilmuan yang komprehensif sebagai prasyarat sebagai
seorang mufti (memberi fatwa). Yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini
adalah fatwa yang dilakukan secara kolektif, yang pada umumnya dilakukan oleh
para ulama dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam organisasi
keislaman tertentu.
Di antara contoh fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga atau organsasi
sosial kemasyarakatan seperti, Majmah Albuhust Al-Islami, Majmah Al-Fiqh
Al-Islami, Rabitah Alam Al-Islami, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul
Ulama (NU), Muhammadiyah dan orgasnisasi keislaman lainnya. Dalam sistem hukum
Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan
hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun ia tidak punyak kekuatan hukum
yang mengikat (ghair mulzimah).
Memang jika dilihat dari sejarahnya, fatwa sebagai salah satu pranata
dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis
dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang
memiliki corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya.
Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab
yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu,
terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa. Keberagaman fatwa
ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada masa ini,
lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu fiqih
hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal
dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam
mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial
kulturnya.
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan
oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum :
Ø
Mengidentifikasi permasalahan tentang fatwa
kontemporer yang meliputi fatwa individu dan fatwa kolektif.
Ø
Mengidentifikasi perkembangan fatwa individu
maupun kolektif di masa sekarang ini.
2. Tujuan Khusus :
Ø
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Fatawa fil
Muamalah pada jurusan Syari’ah Muamalah wal Iqtishad di Fakultas Syari’ah IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh.
Ø
Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa IAIN
Ar-Raniry untuk mempelajari mata kuliah Al-fatawa fil Muamalah pada jurusan
Syari’ah Muamalah wal Iqtishad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PROLOG : TERBUKANYA PINTU
IJTIHAD
Dalam Irsyad ul-Fuhul-nya yang
terkenal, As-Syaukani menyatakan: "Barang siapa yang membatasi karunia
Allah hanya kepada sebagian hamba-Nya, dan membatasi pemahaman akan syariat
hanya bagi orang-orang yang terdahulu, maka ia telah berani (menentang) kepada
Allah swt, lalu kepada syariat-Nya yang diperuntukkan bagi setiap
hamba-hamba-Nya, dan kepada hamba-hamba-Nya yang menyembah Allah dengan
Al-Kitab (Al-Qur'an) dan as-Sunnah (Hadits)."[1]
Pernyataan As-Syaukani di atas tak lain
merupakan bantahan bagi beberapa kalangan yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad
dan membatasi kompetensi ijtihad hanya dimiliki oleh para cendekiawan Islam
masa lalu. Bukan hanya As-Syaukani yang tidak sepakat dengan hal ini, bahkan
pendahulunya, As-Suyuthi sampai menulis buku khusus guna menjelaskan terbukanya
pintu ijtihad, yang ia beri judul: ar-Rad 'ala Man Akhlada il al-Ardhi wa
Jahila Ann al-Ijtihada fi Kulli Ashrin Fardhun.
Historisitas berkembangnya opini tertutupnya
pintu ijtihad dimulai setelah abad keempat hijriah. Akibatnya menjamurlah di
kalangan umat Islam kebiasaan Taqlid (Mengikuti pendapat orang lain).
Akibat menjamurnya Taqlid tersebut, maka marak keputusasaan dalam ibadah
pada beberapa kalangan umat Islam, yang sebenarnya sangat dilarang oleh para
cendekiawan Islam. Efek dari semua itu kemudian adalah berkembangnya persepsi
sulitnya mencapai kompetensi berijtihad. Padahal sebelum itu, setelah
Rasulullah saw wafat, ijtihad selalu terbuka bagi para pakar yurisprudensi
Islam, sebagai refleksi atas munculnya tema-tema yang belum pernah ada pada
masa sebelumnya.[2]
Nah, jika pada masa lampau saja
fenomenanya demikian, maka sudah barang tentu pada masa kini masalah-masalah
baru lebih kompleks dan ijtihad lebih dibutuhkan lagi. Kompleksitas
problematika dari masa ke masa tersebut sebenarnya sudah menjadi bukti kuat akan
terbukanya pintu ijtihad di setiap masa. Sebab jika tidak, sifat elastisitas (al-Murunah)
dan Shalihah Li Kulli Zamanin Wa Makanin yang selalu disematkan bagi
syariat Islam akan tercerabut secara otomatis.
Oleh karena itu, Prof. DR. Abdussalam Abbadi,
Sekjen Majma' ul-Fiqh il-Islami, menyatakan bahwa logika manusia tidak
akan menerima opini tertutupnya ijtihad. Sebab, berbicara soal fikih
(hukum-hukum Islam), berarti berbicara tentang kehidupan dan hukum-hukumnya
dengan segala perkembangan dan perubahannya.[3]
Namun untuk menuju sebuah ijtihad, problem
yang muncul pada masa kini adalah keterbatasan para cendekiawan Islam
kontemporer, dalam penguasaan berbagai cabang keilmuan baik keislaman maupun
keduniawian yang terkait dengan masalah baru yang muncul tersebut yang kemudian
menimbulkan keputusasaan sebagian kalangan akan kemungkinan terjadinya ijtihad
yang profesional dan proporsional. Oleh karena itu dibutuhkan cara yang efektif
dalam metodologi ijtihad, sehingga proses ijtihad yang profesional dan
proporsional tetap berlangsung terus-menerus.
B. FATWA INDIVIDUAL DAN FATWA
KOLEKTIF
Lazimnya, fatwa lahir dari sebuah
ijtihad atas sebuah fenomena tertentu di masyarakat. Hanya saja, banyak
kalangan yang memahami bahwa era ijtihad, khususnya personal, sudah ditutup semenjak
meninggalnya para imam madzhab; Malik, Hanafi, Syafi’I, Hambali.
Pasca era imam madzhab, para ulama
memberikan standar-standar yang sangat rumit dan tak memungkinkan untuk
melakukan ijtihad. Padahal, Islam menempatkan posisi yang sangat istimewa terhadap
ijtihad sebagai bentuk dari kebebasan berpikir.
Tentu, ijtihad disini sebagaimana
makna generiknya “bersungguh-sungguh” tidak sekedar berpikir sederhana,
melainkan berpikir secara mendalam dan jernih tentang suatu pokok soal
tertentu. Apalagi ketika menyangkut jamak orang, hidup bermasyarakat dan
bernegara, maka fatwa perlu kehati-hatian dan kedalaman dalam memahami duduk
perkara.
Fatwa ini ada dua
bentuknya:
1. Fatwa perorangan (individual),
seperti fatwa Syekh Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, fatwa imam besar Masjid
Istiqlal, dan lain-lain.
2. Fatwa kolektif, berupa lembaga
atau komisi.
Fatwa MUI termasuk
fatwa kolektif yang dikaji dan ditetapkan melalui Komisi Fatwa. Demikian juga,
Nahdlatul Ulama, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Majma' al-Buhuts
al-Islami, Majma' al-Fiqh al-Islami, Rabithah al-'Alam al-Islami, dan lembaga
fatwa lainnya.
Fatwa MUI ada tiga
macam:
1. Fatwa tentang kehalalan produk makanan,
minuman, dan kosmetika.
2. Fatwa tentang perekonomian Islam.
3. Fatwa tentang masalah sosial keagamaan,
kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Penetapan fatwa
tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan oleh Komisi
Fatwa MUI bekerjasama dengan LP. POM MUI. Komisi Fatwa menetapkan kehalalannya
berdasarkan hasil penelitian dan auditing LP POM MUI. Sedangkan fatwa tentang
masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya dikaji
dan ditetapkan Komisi Fatwa MUI.
Secara umum penetapan
fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum dan maqashid asy-syariah
(tujuan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum syariat). Dengan penjelasan
seperti ini, menunjukan bahwa fatwa MUI tidak muncul begitu saja dan
spontanitas, tapi melalui proses panjang dan pertimbangan matang dengan
menggunakan metodologi dan kaedah yang sudah dirumuskan oleh para ulama.
C. IJTIHAD KOLEKTIF: SEBAGAI CARA YANG EFEKTIF DALAM IJTIHAD
KONTEMPORER
Sudah menjadi hal yang aksiomatis (al-Musallamat)
bahwa pendapat kolektif akan lebih mendekati kebenaran dibanding pendapat
individual (al-fardi). Oleh karena itu, sistem permusyawatan (as-Syura)
dalam memecahkan perkara-perkara yang muncul sangat dijunjung sekali oleh
Islam. Di dalam al-Qur'an, Allah swt memuji system as-Syura yang
dilakukan oleh umat Islam :
"Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka"
(QS. Asy-Syuura [42]: 38).
Bertolak dari pemikiran di atas dan demi
mencapai idealisme profesionalitas dan proporsionalitas dalam berijtihad, maka
ijtihad kolektif (al-Jamai') merupakan jalan yang cukup efektif
dalam perkembangan ijtihad kontemporer.
Ada beberapa alasan bagi efektifitas ijtihad kolektif di masa kini. Di
antaranya adalah:
1.
Problematika
kontemporer yang bervariasi dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh
perkembangan gaya hidup manusia.
Interaksi perbankan, perdagangan bursa, variasi jenis asuransi,
transaksi-transaksi ekonomi modern dan pencakokan anggota badan adalah
contoh-contoh masalah kontemporer yang tidak cukup dibahas dan ditentukan
hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan
para cendekiawan Islam kontemporer seperti yang saya sebutkan di atas. Dalam
membahas masalah-masalah di atas diperlukan adanya musyawarah dan ijtihad
kolektif, karena tidak cukup hanya mengandalkan penguasaan ilmu-ilmu keislaman
saja, namun juga diperlukan penguasaan ilmu-ilmu keduniawian yang berkaitan
dengan problematika kontemporer tersebut.
2.
Terjadinya
spesialisasi (at-Takhashush) keilmuan pada diri para cendekiawan Islam
kontemporer.
Seperti diketahui bersama bahwa pada masa kini, sangat sulit kita temukan
seorang cendekiawan Islam yang ensiklopedis (al-Mausui'). Justeru
fenomena yang berkembang adalah terjadinya spesialisasi keilmuan pada bidangnya
masing-masing. Spesialisasi tersebut meliputi bahasa Arab, fikih, ushul fikih,
tafsir, hadits dan lain sebagainya. Padahal di antara syarat-syarat ijtihad
yang disebutkan oleh para ulama adalah penguasaan berbagai bidang ilmu-ilmu
keislaman tersebut.[4]
Fenomena ini meniscayakan akan urgensitas ijtihad kolektif yang diikuti oleh
para cendekiawan Islam dengan spesialisasinya masing-masing, sehingga
syarat-syarat ijtihad dapat terpenuhi.
3.
Banyaknya terjadi
perselisihan dan kontroversi.
Di
antara sebab-sebab terjadinya perselisihan antara umat Islam adalah banyaknya
perbedaan fatwa-fatwa individu. Hal ini membuat kesulitan bagi umat Islam untuk
memilih di antara fatwa-fatwa yang berkembang. Bahkan pada beberapa kasus bisa
terjadi bentrokan fisik antara umat Islam karena perbedaan fatwa-fatwa individu
tersebut. Maka pada kondisi seperti ini dibutuhkan forum ijtihad kolektif, guna
menghasilkan fatwa-fatwa kolektif, yang dapat mengantisipasi terjadinya
perselisihan tersebut di atas.
D. IJTIHAD KOLEKTIF DALAM SEJARAH
Sebenarnya secara praktis, ijtihad kolektif bukanlah hal
yang baru. Sebab sejak era Rasulullah saw hal itu sudah dipraktekkan. Karena
ijtihad kolektif tak ubahnya bagai sistem Syura yang sangat dianjurkan
Islam :
"…dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…" (QS. Ali Imran [3]:
159).
Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah
saw bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara
para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz.
Saat itu Rasulullah saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang
berpendapat untuk mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun
setelah itu turun firman Allah swt yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh
mereka :
"Tidak
patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya
di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS.
Al-Anfal [8]: 67).[5]
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya,
Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan
terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah saw. Kemudian beliau melanjutkan
penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun
tidak menyeluruh, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya.
Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga
dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah
keburukan, namun hanya sebuah kekurang sempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.[6]
Mungkin kita juga tidak asing dengan sejarah permusyawaratan yang dilakukan
Rasulullah saw dengan para sahabatnya, untuk menentukan cara yang baik dalam
memberitahukan umat Islam tentang masuknya waktu shalat. Saat itu di antara
para sahabat ada yang berpendapat dengan memukul lonceng. Ada yang berpendapat
dengan meniup terompet . Ada juga yang berpendapat dengan menyalakan api. Namun
Rasulullah saw tidak menyepakati mereka karena hal-hal itu menyerupai kaum
Nasrani, Yahudi dan Majusi. Kemudian Rasulullah saw menyepakati pendapat
Abdullah bin Yazid dengan cara azan yang masyhur sampai saat ini. Pendapat
Abdullah tersebut diperoleh lewat mimpi, yang kemudian disepakati oleh Umar bin
Khattab dengan mimpi yang sama.[7]
Fenomena Ijtihad-ijtihad kolektif yang dilakukan Rasulullah saw dengan para
sahabatnya seperti dua contoh di atas, merupakan terjadi ketika terdapat sebuah
permasalahan dan wahyu Allah swt belum turun saat itu untuk menjawab
permasalahan tersebut.
Sistem Syura yang dicontohkan
Rasulullah saw di atas selanjutnya diikuti turun temurun dari era 'sahabat' dan
tabiin sampai saat ini. Sebagai contoh, dalam I'lam ul-Muwaqiin, Ibn
Qayyim Al-Jauziah menulis: "Jika
datang suatu perkara --yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits-- pada Amir ul-Mukmimin Umar bin Khattab,
(untuk memecahkannya) Ia kumpulkan para sahabat Rasulullah saw, lalu ia bentuk
permusyawaratan (Syura) di
antara mereka."[8]
E. FORUM-FORUM IJTIHAD KOLEKTIF KONTEMPORER
Di masa kini, ijtihad kolektif sudah
dilembagakan atau dibentuk sebuah forum oleh institusi-institusi Islam
terkenal. Paling tidak ada tiga forum besar dan terkenal yang menerapkan
ijtihad kolektif di masa kini.
Forum-forum tersebut adalah :
1.
Majma' ul-Buhuts
il-Islamiah yang didirikan pada tahun
1381 H./1961 M, bertempat di Al-Azhar Mesir.
2.
Al-Majma'
al-Fiqhi milik Liga Dunia Islam (Rabithath
il-Aalam il-Islami) yang berkedudukan di Makkah, didirikan pada tahun 1398
H.
3.
Majma' ul-Fiqh
il-Islami milik OKI (Organisasi
Konferensi Islam) atau Munadzamat ul-Mu'tamar il-Islami yang
bersekretariat di Jeddah, yang berdiri setelah Mu'tamar ul-Qimmah al-Islamiah
pada tahun 1401 H./1981 M.[9]
Ketiga forum di atas, sejak awal didirikannya, telah banyak memberikan
kontribusi yang signifikan bagi penyelesaian problematika umat Islam di seluruh
dunia, dari permasalahan agamis sampai permasalahan sosial umat Islam. Hal itu
dapat kita lihat dari fatwa-fatwa atau keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh
ketiga forum tersebut pada setiap periode konferensi.
PENUTUP
Fatwa ini ada dua
bentuknya:
1. Fatwa perorangan (individual),
seperti fatwa Syekh Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, fatwa imam besar Masjid
Istiqlal, dan lain-lain.
2. Fatwa kolektif, berupa lembaga
atau komisi.
Secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum
dan maqashid asy-syariah (tujuan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum
syariat).
Ada beberapa alasan bagi efektifitas ijtihad
kolektif di masa kini. Di antaranya adalah:
1.
Problematika
kontemporer yang bervariasi dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh
perkembangan gaya hidup manusia.
2.
Terjadinya
spesialisasi (at-Takhashush) keilmuan pada diri para cendekiawan Islam
kontemporer.
3.
Banyaknya terjadi
perselisihan dan kontroversi.
Ada tiga forum besar dan terkenal yang
menerapkan ijtihad kolektif di masa kini. Forum-forum tersebut adalah :
1.
Majma' ul-Buhuts
il-Islamiah yang didirikan pada tahun
1381 H./1961 M, bertempat di Al-Azhar Mesir.
2.
Al-Majma'
al-Fiqhi milik Liga Dunia Islam (Rabithath
il-Aalam il-Islami) yang berkedudukan di Makkah, didirikan pada tahun 1398
H.
3.
Majma' ul-Fiqh
il-Islami milik OKI (Organisasi
Konferensi Islam) atau Munadzamat ul-Mu'tamar il-Islami yang
bersekretariat di Jeddah, yang berdiri setelah Mu'tamar ul-Qimmah
al-Islamiah pada tahun 1401 H./1981 M.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syaukani, Muhammad
bin Ali bin Muhammad, al-Imam, Irsyad ul-Fuhul Ila Tahqiq il-Ilm il-Ushul H.
423, Muassat ul-Kutub its-Tsaqafiah Beirut-Lebanon.
Lih: Az-Zuhayli, Wahbah,
DR., Ushul ul-Fiqh il-Islami, 2/1061 dan 1170. Daar ul-Fikr, Damaskus-Suriah.
Pernyataan DR. Abdussalam
Abbadi tersebut, penulis dengar dan saksikan saat beliau datang ke Institut
Syeikh Ahmad Kuftaro, Damaskus, dan sempat menyampaikan ceramah dengan judul: Majma'
ul-Fiqh il-Islami dan perannya dalam menyelesaikan problematika
kontemporer, pada tanggal 12 Mei 2008 M . yang lalu.
Lih: Hiito, Muhammad Hasan, DR., Al-Wajiz fi Ushul
it-Tasyri il-Islami H. 496-500, Muassat ur-Risalah Nasyiruun, Beirut-Lebanon,
dan lih: Az-Zuhayli, Op.Cit H.1071-1079.
Lih: Ibn al-Arabi, Ahkam ul-Qur'an 2/131, Maktabat
us-Syamilah
Lih: Al-Bhuti, Muhammad
Said Ramadhan, DR., Fiqh us-Sirat in-Nabawiyah H.199, Cetakan kelima,
Universitas Damaskus.
Lih: al-Habash, Muhammad, DR., Siratu Rasulillah saw H.132-134,
Daaru Afnan, Damaskus. Lihat juga di berbagai buku Sejarah Rasulullah
saw.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam
ul-Muwaqiin 1/85, Maktabatu Daar il-Bayan, Damaskus-Suriah.
Lih: Ismail, Sya'ban Muhammad, DR., al-Ijtihad ul-Jamai
Wa Daur ul-Majami' il-Fiqhiati Fi Tathbiqihi H. 137-218, Daar ul-Basyair
il-Islamiah, Beirut-Lebanon.
[1] Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin
Muhammad, al-Imam, Irsyad ul-Fuhul Ila Tahqiq il-Ilm il-Ushul H. 423, Muassat
ul-Kutub its-Tsaqafiah Beirut-Lebanon.
[2] Lih: Az-Zuhayli, Wahbah, DR., Ushul ul-Fiqh il-Islami,
2/1061 dan 1170. Daar ul-Fikr, Damaskus-Suriah.
[3] Pernyataan DR. Abdussalam Abbadi
tersebut, penulis dengar dan saksikan saat beliau datang ke Institut Syeikh
Ahmad Kuftaro, Damaskus, dan sempat menyampaikan ceramah dengan judul: Majma'
ul-Fiqh il-Islami dan perannya dalam menyelesaikan problematika
kontemporer, pada tanggal 12 Mei 2008 M . yang lalu.
[4] Lih: Hiito, Muhammad Hasan, DR., Al-Wajiz fi Ushul
it-Tasyri il-Islami H. 496-500, Muassat ur-Risalah Nasyiruun, Beirut-Lebanon,
dan lih: Az-Zuhayli, Op.Cit H.1071-1079.
[5] Lih: Ibn al-Arabi, Ahkam ul-Qur'an 2/131, Maktabat
us-Syamilah
[6] Lih: Al-Bhuti, Muhammad Said Ramadhan,
DR., Fiqh us-Sirat in-Nabawiyah H.199, Cetakan kelima, Universitas
Damaskus.
[7] Lih: al-Habash, Muhammad, DR., Siratu Rasulillah saw H.132-134,
Daaru Afnan, Damaskus. Lihat juga di berbagai buku Sejarah Rasulullah
saw.
[8] Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam ul-Muwaqiin
1/85, Maktabatu Daar il-Bayan, Damaskus-Suriah.
[9] Lih: Ismail, Sya'ban Muhammad, DR., al-Ijtihad
ul-Jamai Wa Daur ul-Majami' il-Fiqhiati Fi Tathbiqihi H. 137-218, Daar
ul-Basyair il-Islamiah, Beirut-Lebanon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar