Negara adalah
suatu produk evolusi dalam sejarah kehidupan manusia yang panjang, berawal dari
bentuknya yang embrional dalam masa prasejarah, berupa organisasi kerabat
sedarah yang sekalipun local namun diikat oleh perasaan solidaritas yang lebih
ditentukan oleh perasaan berkesamaan darah daripada perasaan berkesamaan
teritori. Negara adalah manifestasi kemampuan manusia dalam tarafnya yang
relative tinggi untuk mengonsentrasikan dan mendayagunakan energi dalam jumlah
yang amat besar untuk mengontrol suatu jaringan kehidupan yang tak hanya
beruang lingkup luar akan tetapi juga kompleks.
Positivisme
hukum dan otonomisasi system penyelenggaraannya yang serba formal,
positif-rasional, dan procedural itu dengan implikasinya terjadinya
profesionalisasi hukum membawa konsekuensi digantikannya cara-cara penyelesaian
sengketa dalam masyarakat, dan akan digantikannya pula rujukan-rujukan
normative yang dipakai. Durkheim mengatakan bahwa dalam suasana tradisional
hukum justru akan lebih bersifat represif, sedangkan dalam
masyarakat-masyarakat yang telah mencapai tahap perkembangan pembagian kerja
yang lanjut, dengan solidaritas sosialyang bersifat organic daripada mekanis,
hukum akan condong lebih bersifat restitutif.
Asal Usul Kehendak Unifikasi Hukum
Pertumbuhan
struktur social yang berasaskan territorial dan perkembangan kesadaran social
yang berwarna humanisme merupakan kemudahan-kemudahan yang mempercepat lahirnya
Negara-negara nasional dan hukum-hukum nasional di Eropa. Dan itulah yang
menjadi kenyataan di Eropa pada abad 18 dan 19. karateristik final hukum-hukum
nasional Eropa Barat pada saat itu kian terlihat nyata, yaitu :
- Bahwa hukum itu dilembagakan demikian rupa sehinggaterbedakan secara nyata dari lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat
- Bahwa hukum dikelola dan dikajiserta dirawat oleh para professional
- Bahwa karena itupun hukum dapat berfungsi sebagai suatu system normative yang mandiri
Antusiasme
untuk mentransformasikan system hukum kea rah system hukum yang otonom berciri
nasional-humanistik dan terotorial semasa revolusi Prancis tampak bersejajar
benar dengan élan perjuangan politik rakyat di negeri itu pada waktu itu yang
melantangkan tuntutan egalite, dan seperti menolak keragaman hukum yang
didasarkan keragaman agama, atau keragaman etnis dan kelas. Sejalan dengan
kehendak itu, perkembangan politik hukum saat itu juga menjurus ke kehendak
untukmerealisasikan unifikasi hukum dengan keyakinan bahwa hukum nasional tak
mungkin lain daripada hukum unifikasi.
Unifikasi dan Perkembangan Hukum
Nasional di Eropa Barat
Awal abad 12
reformasi oleh Paus Gregorius melahirkan hukum kanonik baru yang bermaksud
menyatukan komunitas eropa di bawah satu tertib hukum. Namun demikian,
unifikasi hukum yang dilandasi solidaritas nasional dari abad 19 mempunyai
semangat lain : alih-alih mengingkari pluralisme yang ada unifikasi kali ini
bekerja untuk menggarap berbagai system hukum yang ada itu ke dalam suatu
system normative yang tunggal.
Unifikasi
berdasarkan asas territorial dengan memberlakukan hukum Barat yang positif,
terkodifikasi secara professional. Bahkan pada tahun 1950-an masih juga terjadi
transparansi hukum erpa semacam itu melalui serangkaian usaha kodifikasi dan
perundang-undangan. Tetapi menduplikasi keberhasilan Eropa did an untuk
daerah-daerah jajahannya tidaklah mudah. Rasionalitas para pemuncak politik dan
para pembuat kebijakan hukum disini adalah rasionalitas formal yang tegar,
sejalan dengan rasionalitas yang dianut para positive penganut ilmu hukum
murni, dan bukannya rasionalitas purposif sebagaimana dianut oleh mereka yang
mendukung para aliran sosiologis dalam ilmu hukum.
Kebijakan Unifikasi di wilayah colonial
Asas-asas
humanitarian yang diintroduksikan dari Eropa mulai mengambil peranan penting
dalam pemerintahan colonial sejak awal abad 19. daendels dan Raffles memperluas
wilayah-wilayah di Jawa yang dimasukkan ke dalam control langsung aparat-aparat
pemerintahan colonial, dan melakukan berbagai reformasi sekalipun terpaksa
berangsur berdasarkan asas-asas keadilan bangsa Eropa.
Kebijakan
unifikasi lewat penerapan secara berangsur bagian-bagian tertentu hukum Eropa
pada orang-orang pribumi pun tak selamanya mampu menimbulkan efek seperti yang
diharapkan.
Tersimpulkanlah oleh Seidman
bahwa hukum itu tidak dapat ditransferdari bumi daya asing tanpa membedol
seluruh jaringan system institusional yang menjadi konteksnya.
Kebijakan Hukum Hindia Belanda
Akhir abad ke
19 menyaksikan kebijakan politik colonial yang hendak menekankan terlebih
dahulu upaya-upaya pembenahan birokrasi pemerintahan dan peradilan. Akhir abad
19 inilah terjadi penggiatan usaha pemerintah colonial untuk menjadikan apa
yang dinamakan inlandsche hooffden bias
fungsional di dalam struktur social politik dan moral pemerintahan Hindia
Belanda. Dalam masa pendidikannya, pejabat-pejabat itu tidak hanya harus hukum
dan tata pemerintahan akan tetapi juga harus mempelajari :
- Bahasa
- Adat kebiasaan
- Lembaga-lembaga agama rakyat pribumi di daerah-daerah jajahan
Tantangan Kebijakan Hukum Pascakolonial
Di tengah ter
Haar dan murid-muridnya, hukum adapt telah berhasil memenuhi fungsinya sebagai
hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan Negara yang modern. Dalam
konteks kehidupan nasional, dorongan kea rah unifikasi hukum yang telah bermula
pada masa penjajahan memang telah memperolehkekuatan baru. Rasionalitas formal
dalam kebijakan menyusun hukum nasional memang sudah waktunya digantikan dengan
nasionalitas yang lebih purposif.
Kodifikasi dan
unifikasi memang dapat saja dilakukan akan tetapi celah perbedaan akan selalu
terkuak lebar antara apa yang dikaidahkan dan apa yang terwujud sebagai
perilaku actual.
Situasi plural
masyarakat colonial masihlah tetap belanjut pada masyarakat nasional dewasa ini
: kebijakan yang realistis dalam hal unifikasi hukum tentulah harus
mempertimbangkan politik ideologis yang salah, akan tetapi juga acap kali
karena sebab-sebab yang lebih objektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar