Rabu, 04 Mei 2011

TRANSPLANTASI HUKUM KE NEGARA-NEGARA YANG TENGAH BERKEMBANG, KHUSUSNYA INDONESIA


Negara dan Karakteristik Hukum Negara

Negara adalah suatu produk evolusi dalam sejarah kehidupan manusia yang panjang, berawal dari bentuknya yang embrional dalam masa prasejarah, berupa organisasi kerabat sedarah yang sekalipun local namun diikat oleh perasaan solidaritas yang lebih ditentukan oleh perasaan berkesamaan darah daripada perasaan berkesamaan teritori. Negara adalah manifestasi kemampuan manusia dalam tarafnya yang relative tinggi untuk mengonsentrasikan dan mendayagunakan energi dalam jumlah yang amat besar untuk mengontrol suatu jaringan kehidupan yang tak hanya beruang lingkup luar akan tetapi juga kompleks.

Positivisme hukum dan otonomisasi system penyelenggaraannya yang serba formal, positif-rasional, dan procedural itu dengan implikasinya terjadinya profesionalisasi hukum membawa konsekuensi digantikannya cara-cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat, dan akan digantikannya pula rujukan-rujukan normative yang dipakai. Durkheim mengatakan bahwa dalam suasana tradisional hukum justru akan lebih bersifat represif, sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang telah mencapai tahap perkembangan pembagian kerja yang lanjut, dengan solidaritas sosialyang bersifat organic daripada mekanis, hukum akan condong lebih bersifat restitutif.


Asal Usul Kehendak Unifikasi Hukum
            Pertumbuhan struktur social yang berasaskan territorial dan perkembangan kesadaran social yang berwarna humanisme merupakan kemudahan-kemudahan yang mempercepat lahirnya Negara-negara nasional dan hukum-hukum nasional di Eropa. Dan itulah yang menjadi kenyataan di Eropa pada abad 18 dan 19. karateristik final hukum-hukum nasional Eropa Barat pada saat itu kian terlihat nyata, yaitu :
  • Bahwa hukum itu dilembagakan demikian rupa sehinggaterbedakan secara nyata dari lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat
  • Bahwa hukum dikelola dan dikajiserta dirawat oleh para professional
  • Bahwa karena itupun hukum dapat berfungsi sebagai suatu system normative yang mandiri
Antusiasme untuk mentransformasikan system hukum kea rah system hukum yang otonom berciri nasional-humanistik dan terotorial semasa revolusi Prancis tampak bersejajar benar dengan élan perjuangan politik rakyat di negeri itu pada waktu itu yang melantangkan tuntutan egalite, dan seperti menolak keragaman hukum yang didasarkan keragaman agama, atau keragaman etnis dan kelas. Sejalan dengan kehendak itu, perkembangan politik hukum saat itu juga menjurus ke kehendak untukmerealisasikan unifikasi hukum dengan keyakinan bahwa hukum nasional tak mungkin lain daripada hukum unifikasi.


Unifikasi dan Perkembangan Hukum Nasional di Eropa Barat
Awal abad 12 reformasi oleh Paus Gregorius melahirkan hukum kanonik baru yang bermaksud menyatukan komunitas eropa di bawah satu tertib hukum. Namun demikian, unifikasi hukum yang dilandasi solidaritas nasional dari abad 19 mempunyai semangat lain : alih-alih mengingkari pluralisme yang ada unifikasi kali ini bekerja untuk menggarap berbagai system hukum yang ada itu ke dalam suatu system normative yang tunggal.
Unifikasi berdasarkan asas territorial dengan memberlakukan hukum Barat yang positif, terkodifikasi secara professional. Bahkan pada tahun 1950-an masih juga terjadi transparansi hukum erpa semacam itu melalui serangkaian usaha kodifikasi dan perundang-undangan. Tetapi menduplikasi keberhasilan Eropa did an untuk daerah-daerah jajahannya tidaklah mudah. Rasionalitas para pemuncak politik dan para pembuat kebijakan hukum disini adalah rasionalitas formal yang tegar, sejalan dengan rasionalitas yang dianut para positive penganut ilmu hukum murni, dan bukannya rasionalitas purposif sebagaimana dianut oleh mereka yang mendukung para aliran sosiologis dalam ilmu hukum.


Kebijakan Unifikasi di wilayah colonial
Asas-asas humanitarian yang diintroduksikan dari Eropa mulai mengambil peranan penting dalam pemerintahan colonial sejak awal abad 19. daendels dan Raffles memperluas wilayah-wilayah di Jawa yang dimasukkan ke dalam control langsung aparat-aparat pemerintahan colonial, dan melakukan berbagai reformasi sekalipun terpaksa berangsur berdasarkan asas-asas keadilan bangsa Eropa.
Kebijakan unifikasi lewat penerapan secara berangsur bagian-bagian tertentu hukum Eropa pada orang-orang pribumi pun tak selamanya mampu menimbulkan efek seperti yang diharapkan.
Tersimpulkanlah oleh Seidman bahwa hukum itu tidak dapat ditransferdari bumi daya asing tanpa membedol seluruh jaringan system institusional yang menjadi konteksnya.


Kebijakan Hukum Hindia Belanda
Akhir abad ke 19 menyaksikan kebijakan politik colonial yang hendak menekankan terlebih dahulu upaya-upaya pembenahan birokrasi pemerintahan dan peradilan. Akhir abad 19 inilah terjadi penggiatan usaha pemerintah colonial untuk menjadikan apa yang dinamakan inlandsche hooffden bias fungsional di dalam struktur social politik dan moral pemerintahan Hindia Belanda. Dalam masa pendidikannya, pejabat-pejabat itu tidak hanya harus hukum dan tata pemerintahan akan tetapi juga harus mempelajari :
  • Bahasa
  • Adat kebiasaan
  • Lembaga-lembaga agama rakyat pribumi di daerah-daerah jajahan


Tantangan Kebijakan Hukum Pascakolonial

Di tengah ter Haar dan murid-muridnya, hukum adapt telah berhasil memenuhi fungsinya sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan Negara yang modern. Dalam konteks kehidupan nasional, dorongan kea rah unifikasi hukum yang telah bermula pada masa penjajahan memang telah memperolehkekuatan baru. Rasionalitas formal dalam kebijakan menyusun hukum nasional memang sudah waktunya digantikan dengan nasionalitas yang lebih purposif.
Kodifikasi dan unifikasi memang dapat saja dilakukan akan tetapi celah perbedaan akan selalu terkuak lebar antara apa yang dikaidahkan dan apa yang terwujud sebagai perilaku actual.
Situasi plural masyarakat colonial masihlah tetap belanjut pada masyarakat nasional dewasa ini : kebijakan yang realistis dalam hal unifikasi hukum tentulah harus mempertimbangkan politik ideologis yang salah, akan tetapi juga acap kali karena sebab-sebab yang lebih objektif.

Tidak ada komentar: