Rabu, 04 Mei 2011

Menggagas Pendidikan Yang Mencerdaskan

Lebih dari 14 abad yang lalu, Islam muncul dan mulai berkembang membawa visi profetis Nabi sebagai gerakan pembebasan kebodohan dan keterbelakangan yang terinspirasi oleh kitab suci Al-Qur’an. Ide revolusi yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw merupakan badai tsunami yang merambah seluruh lapisan khususnya masyarakat Arab dan dunia pada umumnya. Selain gagasan tersebut, yang terutama adalah tentang visi pendidikan yang luar biasa. Semangat Islam yang terinspirasi oleh ayat yang pertama turun "Iqra" (perintah membaca) dan Al-Muddatsir (perintah untuk bangkit dan menyampaikan). Sehingga pada awalnya Islam mulai menyebar dengan sistem pemberantasan buta huruf secara besar-besaran. Karena memang bahwa Islam tidak akan mampu berkembang dan meningkat manakala di pegang oleh orang-orang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Dan memang sudah menjadi hak manusia untuk pintar dan memperoleh pendidikan.

Bahkan untuk menyukseskan program pemberantasan buta huruf ini, Nabi Muhammad Saw mengesampingkan perbedaan sikap politik dan agama. Terbukti tahanan pada saat perang Badar dapat di bebaskan jika sanggup mengajar baca tulis kepada beberapa orang dari umat Islam. Hal ini merupakan contoh sikap keterbukaan Nabi Muhammad Saw yang luar biasa hebatnya dan sampai sekarang belum terulang lagi dalam sejarah. Dengan semangat itulah yang mendorong Islam dalam kurun waktu yang tidak lama dapat maju dan memimpin dunia selama 7 abad lamanya, dari abad ke 7 – 14 masehi. Perlu diketahui bahwa pada masa itu, masyarakat Arab yang sanggup baca tulis hanya 15 orang.
Setelah selama 7 abad lamanya Islam memimpin dunia, awal abad 15 M, Islam mulai terpuruk, pusat pendidikan, pengembangan dan penelitian ilmu waktu itu di Baghdad hancur berantakan setelah ada penyerangan dari bangsa Mongol yang di pimpin oleh Hulaghu Khan (putra dari Jengis Khan). Kehancuran kota Baghdad yang ditandai dengan pembakaran jutaan buku di berbagai perpustakaan dan pembuangan buku ke sungai Eufrat dan Tigris. Penelitian terbaru menjelaskan bahwa bukan atas kesadaran bangsa Mongol membakar dan membuang buku, tapi itu atas perintah para jenderal Persia yang melarikan diri dan bergabung dengan tentara Mongol setelah Persia berhasil ditaklukkan oleh tentara Islam pada masa khalifah Umar. Bangsa Mongol yang terkenal dengan kebiasaan yang barbarian tidak memiliki pengetahuan dan keinginan sampai menghilangkan jutaan buku.
Selain sebab tersebut juga kemunduran umat Islam di sebabkan oleh adanya peperangan saudara berebut kekuasaan dan menyebarnya ajaran tasawuf secara membabi buta dengan mengesampingkan fungsi dan posisi akal. Sehingga sampai saat ini negara-negara yang mayoritas Islam masuk menjadi kelompok negara dunia ketiga, the third world (negara terbelakang dan gagal) yang secara umum segala lini kehidupan di bawah masyarakat non muslim dan bangsa-bangsa Islam terus menerus di eksploitasi guna melemahkan kekuatan Islam. Prakteknya, dikotomisasi ini memunculkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju
Saat ini perkembangan peradaban dunia kian pesat dan tak terkendali memunculkan banyak spekulasi masa depan umat manusia. John Naisbitt misalnya memprediksi bahwa negara-negara dunia ketiga akan menjadi "santapan" negara-negara maju. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana perilaku biadab AS terhadap negara-negara muslim dengan dalil terorisme, pelanggaran HAM. Budaya permisivisme, liberalisme, sekulerisme, hedonisme 3 F (food, fashion and fun). Senada dengan hal tersebut John Marcoff dan Francis Fukuyama mengatakan bahwa peradaban dunia akan berakhir dengan hilangnya konflik dan ideologi tingkat global dan lahirnya dunia baru yang cukup harmonis. Dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final yang dilahirkan manusia. Tesis tersebut mengundang reaksi Samuel Huntington yang mengatakan bahwa setelah perang dingin dengan runtuhnya Uni Soviet (blok komunis) tanpa terjadi penggunaan senjata yang sudah diakumulasi dalam jumlah yang besar sekali, dan kemenangan di pihak AS. Maka AS cenderung menentukan tantangan baru dan hal tersebut malah merupakan konflik yang cukup besar. Yakni dengan adanya benturan antar peradaban. Ia menekankan pada tiga peradaban besar, yakni Barat Vs Islam dan Confusian (ras kuning)
Hal-hal tersebut berdampak sangat fatal, khususnya pada dunia pendidikan saat ini. Dampak globalisasi ekonomi politik meniscayakan adanya modernisasi dan di maknai sebagai alat untuk melegitimasi para pelaku pendidikan menerapkan logika bisnis dalam dunia pendidikan. Biaya pendidikan pun melambung tinggi akibat swastanisasi sekolah dan kompetisi pasar pendidikan yang tidak sehat.
Logika bisnis ini sudah terbukti pada banyak kasus . Karena letaknya strategis jadi lebih evektif jika di jadikan sebagai fasilitas yang menguntungkan. Begitu juga tentang persaingan sekolah yang tidak sehat menyebabkan diskriminasi sekolah bermutu/favorit dengan sekolah tidak favorit dengan biaya yang membumbung tinggi karena target jaringan mereka adalah kelompok masyarakat menengah keatas. Mahalnya pendidikan ini menyumbat arus jenjang pelajar untuk meneruskan. Yang tidak manusiawi lagi, atas nama otonomi pendidikan dan otonomi kampus siswa lulusan SMA menjadi target finansial bagi PTN dengan berbagai program seleksi masuk PTN.
Standarisasi materi yang menjadi landasan pelaku pendidikan saat ini menyebabkan nilai-nilai afeksi terabaikan sama sekali. Hal tersebut menyebabkan pendidikan tidak terjangkau lagi untuk masyarakat bawah. Hal tersebut di perparah oleh mutu pendidikan yang masih rendah.
Menggagas pendidikan yang mencerdaskan
Dari pada selalu mencaci maki kegelapan lebih baik menyalakan cahaya penerangan. Kita semua telah mengetahui dampak kemampuan menguasai dan menggunakan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Manusia Indonesia pada umumnya cukup mempunyai potensi kepintaran untuk itu. Tapi penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tidak cukup hanya dengan potensi kepintaran tersebut. Terbukti bagaimana Barat dengan penguasaan tekhnologi yang sangat luar biasa, tetapi tingkah laku, sikap dan kebudayaan yang diciptakan kemudian sangat bobrok (pergaulan bebas dll). Dalam UU Sisdiknas 2003 mulai dimasukkan target pendidikan yang lebih mengarah pada nilai-nilai kemasyarakatan dan berlandaskan agama yaitu afeksi (pendidikan moral). Bagaimana kemudian apa yang dihasilkan oleh pendidikan berupa ilmu yang memiliki sinergitas dengan iman dan akhlak (moral) dan menjadi pola tingkahlaku (amal sholeh) yang baik dan biasa di masyarakat.
Persoalan utama saat ini adalah bagaimana manusia baik dan menjadi manusia bertanggung jawab sebagai tujuan pendidikan yang bisa diterima semua masyarakat. Dan visi muslim, dendekia dan pemimpin perlu diintegrasikan secara menyeluruh dan komprehensif. Muslim, sebagai identitas dan spirit, sebagai formula pembentukan sikap, bagaimana muslim yang ideal? Cendekia merupakan konsekuensi logis kita sebagai muslim, karena dengan cerdas lah Islam dapat berkembang. Dan pemimpin menjadi kebutuhan mendesak saat ini. Jiwa kepemimpinan dibutuhkan untuk mengontrol, mengarahkan dan mengendalikan ilmu pengetahuan ndan tekhnologi agar dalam pemanfaatannya sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat banyak.
Dengan rendahnya mutu pendidikan saat ini, dapat kita lihat pada sector ekonomi yang menjadi pemilik adalah orang-orang non-pribumi, sektor-sektor sentral malah dikuasai asing. Di sisi lain Islam yang pada awal kemunculannya sarat konsep revolusi, saat ini belum menjadi kekuatan yang representatif untuk mengusung perubahan (khususnya Indonesia yang mayoritas Islam). Kita bisa melihat bagaimana umat Islam terus menerus di bodohi dan di eksploitasi karena memang spirit berjuang semakin melemah dan saat ini yang kemudian menjadi kiblat bukanlah Islam, melainkan Barat (AS)
Jadi bagaimana pendidikan berfungsi sebagai proses memanusiakan manusia, maksudnya bahwa pendidikan mempunyai visi menciptakan generasi yang memiliki jiwa perubahan, berpikiran bebas (merdeka) dan memiliki daya cipta untuk menanggapi perubahan zaman. Bagaimana mengembalikan umat Islam untuk kembali cinta pada ilmu pengetahuan seperti pada zaman awal perkembangan Islam yang berlandaskan moralitas yang kuat? seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Tetapi melihat kenyataan sekarang mengindikasikan bahwa pendidikan telah gagal merubah peradaban yang konstruktif. Bagaimana para elite penguasa masih berfikir dan mengambil kebijakan serba rasional ala kaum modernis yang naïf dan hanya berorientasi pada aspek kognisi dan psikomotorik. Yang mementingkan kecerdasan otak dan kekuatan otot dan malah mengesampingkan kecerdasan moral dan spiritual. Dalam proses pendidikan agama sebagai basis pembentukan akhlak (moral) ternyata juga dengan metode yang sama. Jadi standarisasi menguasai materi ibadah, jika di ulangan smester mendapat nilai sembilan.
Dengan membagi komponen sistem pendidikan yaitu pendidik, peserta didik dan media pendidikan, materi, metode dan lingkungan dapatlah kita telusuri akar permasalahannya. Dari komponen system pendidikan itu yang jarang di evaluasi adalah peserta didik. Secara fitrah sudah dibekali intelegensi, kemauan, daya cipta, jiwa perubah dan keimanan yang bisa dikembangkan sendiri.
Jadi bagaimana kita menempatkan pendidikan sebagai kawah candradimuka yang menggodok kader-kader pejuang, generasi penerus yang memiliki kebudayaan dan zaman yang berbeda dengan umat terdahulu.

Tidak ada komentar: