PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada kenyataannya, mengidentifikasi
sorban dan cadar sebagai bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan
berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan menyimpulkan bahwa sorban dan cadar
masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah
dan tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan
yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan
masalah yang sebenarnya.
Satu hal yang tidak akan disangkal
oleh siapa pun yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan apakah boleh
membuka wajah atau wajib menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak tangan
adalah masalah yang masih diperselisihkan. Masalah ini masih diperselisihkan
oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Sebab perbedaan pendapat itu kembali
kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah ini
dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya, karena tidak didapatinya nash
yang qath'i tsubut (jalan periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah
ini sudah terselesaikan.
Banyak hadits-hadits tentang keutamaan bersurban yang tersebar dikalangan
kaum muslimin. Diantaranya banyak tersebar di kitab-kitab sufiyah.
B.
TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum :
Ø Mengidentifikasi
berbagai pendapat tentang keutamaan memakai sorban.
Ø Mengidentifikasi
berbagai pendapat tentang keutamaan memakai cadar.
2. Tujuan Khusus :
Ø Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hadits pada jurusan Syari’ah Muamalah wal Iqtishad
di Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Ø Sebagai
bahan referensi bagi mahasiswa IAIN Ar-Raniry untuk mempelajari mata kuliah
Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBAHASAN DALAM MEMAKAI
SORBAN
Pada kesempatan ini pemakalah tidak mengatakan larangan
untuk mengenakan surban, akan tetapi pemakalah hanya mengutip
penjelasan-penjelasan para Ulama Hadits tentang derajat hadits keutamaan
bersurban. Sehingga kita mengetahui
kedhoifannya untuk kemudian tidak menggunakannya sebagai dasar hukum bersurban,
serta tidak menyebarkan hadits-hadits yang dhoif bahkan tidak ada asalnya sama
sekali. Adapun hadits-hadits tersebut adalah sebagaimana berikut :
Hadits dari Jabir
Radhiallohu ‘anhu, Telah bersabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam,
رَكْعَتَانِِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ
سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بَلَا عِمَامَةٍ
“Dua
rakaat sholat dengan memakai surban lebih baik dari pada sholat 70 rakaat tanpa
memakai surban”
Hadits ini diriwayatkan oleh As-Suyuti dalam Jami’us
Shoghir, Ad-Dailami dalam Musnad Al-firdaus, Al-Munawiy dalam Syarhul Jami.
As-Syeikh Nashiruddin Al-Albani -rahimahullohu ta’ala-
berkata dalam Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhoifah I/251, “Hadits
ini Maudhu’ / Palsu” Dalam periwayatannya ada
seseorang bernama Thoriq bin Abdurrahman, Imam Ad-Dzahabi telah menjelaskannya
dalam kitab “Ad-Dhu’afa” beliau berkata, An-Nasa’i berkata: “Hadits ini tidak
kuat”
Sedangkan hadits serupa yang berasal dari periwayatan Muhammad bin Ajlan,
Telah disebutkan oleh Al-Bukhary dalam kitab “Ad-Dhu’afa”, Al-Hakim berkata;
“Dia sedikit hafalan”. As-Sakhawy berkata; “Hadits tersebut tidak dapat
dipercaya”
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanyai tentang sebuah
hadits yang diriwayatkan Suhail dari Abu Hurairah bahwa Rasululloh bersabda,
“Sholat dengan surban lebih baik daripada 70 sholat dengan tidak bersurban”
Maka Imam Ahmad menjawab, “Ini Penipuan, Ini Bathil”
Maka Imam Ahmad menjawab, “Ini Penipuan, Ini Bathil”
Juga hadits yang berbunyi;
“Sesungguhnya
Allah Azza wa jalla dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang
memakai surban dihari jumat.”
Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam “Al-Kabir” Dan Abu
Nu’aim, dalam Al-Hilyah 5/189-190 dari jalur Al-Ala’ bin Umar Al-Hanafi, dari
Ayyub bin Mudrak dari Makhul dari Abu Darda’ secara marfu’.
Ibnul Jauzi dalam “Al-Maudhu’at” berkata, “Hadits
ini tiada asalnya” Ayyub telah menyendiri dalam
periwayatannya. Alhaitsami dalam “Majma 2/176″ menegaskan, Dalam periwayatanya
ada Ayyub bin Mudrak yang dikatakan oleh Ibnu Ma’in, “bahwa ia Penipu.”
Asy-Syeikh Nashiruddin Al-AlBani berkata dalam Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dhoifah 1/292, Hadits ini Madhu’.
Masih banyak lagi hadits-hadits serupa yang menceritakan tentang keutamaan
sholat memakai surban, namun kesemua hadits itu dhoif bahkan kebanyakan
hadits-hadits tersebut adalah palsu.
Selain itu, kita memahami bahwa tidaklah mungkin
hanya dengan sholat memakai surban dapat melebihi pahala sholat berjamaah.
Padahal sebagaimana telah diketahui bahwa sholat berjamaah itu sunat mu’akkad,
bahkan pendapat yang kuat adalah bahwa sholat berjamaah adalah wajib bagi
setiap laki-laki sebagaimana hadits tentang dialog Rasululloh shallallohu
‘alaihi wasallam dengan Ibnu Ummi Maktum.
Jika benar hadits-hadits tentang keutamaan bersurban itu
berasal dari Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam, tentunya orang-orang
akan mencukupi sholat dirumah dengan memakai surban dan tidak perlu menghadiri
sholat jamaah karena pahalanya lebih besar dari pada sholat berjama’ah.
Asy-Syeikh
Nashiruddin Al-AlBany -rahimahullohu ta’ala- mengatakan,
“Dan pendapat yang rojih/kuat, Sesungguhnya
ianya (surban) adalah termasuk adat (orang arab) bukan ibadat”.
[Silsilah Al-Ahadits
Ad-Dhoifah: 1/253]
B. PEMBAHASAN DALAM
MEMAKAI CADAR
Masalah kewajiban memakai cadar
sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering
mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan
sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang
mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun
biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.
Dalam kajian ini, marilah kita
telusuri masing-masing pendapat itu dan berkenalan dengan dalil dan hujjah yang
mereka ajukan. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini
secara bashirah dan wa`yu yang sepenuhnya. Tujuannya bukan mencari titik
perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang
lengkap tentang dasar isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik
sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak.
1.
Kalangan Yang Mewajibkan Cadar.
Mereka yang mewajibkan setiap wanita
untuk menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu
bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis
non mahram.
Dalil-dalil
yang mereka kemukakan antara lain :
a. Surat Al-Ahzab : 59
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4
y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3
c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
`Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min: `Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.` (QS. Al-Ahzah : 59)
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh
pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap
ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya
keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata
untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud,
Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan diantara mereka
tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat
dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat An-Nuur
yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru berpendapat
sebaliknya.
Para
ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak
bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun
secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan kain ke
dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan
untuk menutup wajah.
b.
Surat An-Nuur : 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r&
z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù
wur úïÏö7ã
£`ßgtFt^Î
wÎ) $tB
tygsß $yg÷YÏB
(
ÇÌÊÈ
`Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.` (QS. An-Nur : 31).
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang
dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah
adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa
nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat
termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari
kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak darinya`
bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini menurut
Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c.
Surat Al-Ahzab : 53
#sÎ)ur
£`èdqßJçGø9r'y
$Yè»tFtB Æèdqè=t«ó¡sù
`ÏB
Ïä!#uur 5>$pgÉo
4
öNà6Ï9ºs
ãygôÛr& öNä3Î/qè=à)Ï9
£`ÎgÎ/qè=è%ur
4
$tBur
c%x.
öNà6s9 br&
(#rè÷sè?
^qßu
«!$# Iwur br&
(#þqßsÅ3Zs?
¼çmy_ºurør& .`ÏB ÿ¾ÍnÏ÷èt/ #´t/r&
4
¨bÎ) öNä3Ï9ºs
tb%2
yZÏã
«!$# $¸JÏàtã ÇÎÌÈ
`Apabila kamu meminta
sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti
Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia
wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.`(QS.
Al-Ahzab : 53)
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk menguatkan
pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk
bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab ayat ini kepada
istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita mukminah,
karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga
kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi.
Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah
kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW
dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan
pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat.
Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan
mengawini para janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan
asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi
Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara
shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh dan tidak
sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan
kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya
dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`. Karena ayat ini
memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan
antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak
tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para istri nabi memang memiliki standart
akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.
uä!$|¡ÏY»t ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7tnr'2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4
ÈbÎ) ¨ûäøøs)¨?$# xsù z`÷èÒørB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜusù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s%
ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ
`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik,` (QS. Al-ahzab : 32).
d.
Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim.
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah
hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW bagi
muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah
wanita yang sedang berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung
tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai
niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi
Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya
mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat
berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika
sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan
sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai
parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram.
Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya
hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum
asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa
sebelumnya hukumnya wajib ?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah,
memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini
adalah logika yang lebih tepat.
e.
Hadits bahwa Wanita itu Aurat.
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy
marfu`an bahwa,
“Wanita
itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Oleh para pendukung
pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah,
tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.
f.
Mendhaifkan Hadits Asma`.
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa,
`Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali
ini dan ini` Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.
2. Kalangan Yang Tidak Mewajibkan Cadar.
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan
termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta mengutip
pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para
shahabat Rasulullah SAW.
a.
Ijma` Shahabat.
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak
tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang
masalah batas aurat wanita.
b.
Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan Termasuk Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka
kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar). Bahkan Imam Abu
Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak
tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa
dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut kitab
Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas
aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh
badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`,
kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh
badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni
1 : 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah
dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan
dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak
tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
c.
Pendapat Para Mufassirin.
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat
wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara
lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini
sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d.
Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya.
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak
berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti
Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin
Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau
`hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal
dan Haram`.
e.
Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan
(ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan
untuk menutup wajah mereka.
@è% úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäót ô`ÏB ôMÏdÌ»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4
y7Ï9ºs 4s1ør& öNçlm; 3
¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt ÇÌÉÈ
`Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
`Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat(QS. An-Nuur : 30)
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,
Jangan
lah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan pandangan
berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah ancaman /
dosa`. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan
pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.
PENUTUP
Setelah mengetahui kedhoifan/kelemahan hadits-hadits
keutamaan memakai surban, tentunya tidaklah dibenarkan seorang muslim
menggunakan hadits dhoif tersebut dalam beramal. Hal ini dikarenakan bahwa
hadits-hadits dhoif ada dalam posisi lemah, dan bagaimana mungkin kita
bersandar pada sesuatu yang lemah?
Ibnu Taimiyah berkata: “Ahlul Bid’ah itu tidak bersandar
kepada Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah serta Atsar Salafus Shalih dari
kalangan Shahabat maupun Tabi’in. Mereka hanya berpedoman dengan logika dan
kaidah bahasa. Dan kamu akan temukan mereka itu tidak mau berpedoman dengan
kitab-kitab tafsir yang ma’tsur (bersambung riwayat dan penukilannya). Mereka
hanya berpegang dengan kitab-kitab adab (sastra dan tata bahasa) serta
kitab-kitab ilmu kalam (filsafat dan logika). Kemudian dari sinilah mereka
membawakan pendapat dan pemikiran mereka yang sesat.” (Al Fatawa 7/119).
Dari beberapa penjelasan para ulama mengenai keutamaan
memakai cadar dapat kita simpulkan, antara lain :
Yang pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman
kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri
Rasulullah) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang
disyariatkan dan keutamaan.
Yang kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan
hingga akhir masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan
berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
Yang ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup
wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.
Yang keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar
begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari
laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil
yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan
bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.
Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum
muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu
a’lam bishshawwab.
DAFTAR PUSTAKA
M. Nashiruddin Al Albani, Shahih
Sunan Abu Daud, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006
Yusuf Qardhawi, As’ad Yasin, Hadyul
Islam Fatawi Mu’ashirah, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 hlm. 424-466
Tidak ada komentar:
Posting Komentar