Pena

Hari Bersamanya!
Langit sedikit meredup, sore pukul 18.36 wib.
Lelaki berbadan kurus itu bernama Sa’dan, tetapi teman dekatnya lebih akrab memanggilnya Danker, ia teman sekamarku. Jalannya sedikit sempoyongan mengelilingi asrama pojok tanpa memakai baju dibadan, hanya balutan handuk dipinggang dengan memegang sikat gigi tanpa pasta gigi diatasnya. Matanya jelalatan kesana kemari memperhatikan setiap pintu kamar asrama yang sudah tidak kokoh berdirinya diatas tanah, lelaki itu bukan hendak mencuri, melainkan mencari tebengan pasta gigi dari satu kamar ke kamar yang lain. Biasanya, hasilnya bisa ditebak jika hanya menyisiri daerah asrama pojok, mau tahu apa sebabnya? Karena hampir semua penghuni asrama pojok memang langganan peminta pasta gigi kepada adik letting. Ingat, hampir semua!
Tidak berapa lama lelaki itu menghampiriku yang sedang bersandar ditembok kamar mandi, letaknya diantara asrama pojok dan asrama Teuku Umar. Tidak jauh dariku ada beberapa santri yang sedang mandi dengan air kuning didalam bak.
“Kacau Les!” cetusnya saat menghampiriku sembari menepuk-nepuk pelan perutnya dengan sikat gigi.
“Untuk abang ganteng ada yang bisa dibantu?!” jawabku sedikit berguyon.
“Ini dengan mas Beles?” jawabnya dengan menatapku. Itu adalah panggilan akrab untukku darinya.
“Iya benar.”
“Bisa tolong carikan odol untuk sikat gigi?”
“Tentu bisa,” jawabku menahan senyum, “jumpai saja Ustadz Nasruddin koperasi minta odol untuk gigimu sama beliau!” aku penuh semangat. Wajahnya sedikit manyun mendengar nama abangnya terseret dipercakapan ini.
“Kurang ajar!” sentaknya dengan menarik handuk dipinggangku. Santri yang lain tertawa riang melihat ulah Sa’dan memalukanku. Ya, aku dibuat malu karena berdiri hanya dengan celana dalam saat handuk telah berpindah tempat ditangannya. Ia cekikikan riang seperti setan, aku dengan sergab meraih handuk itu kembali dan membalutkannya diatas pinggang.
“Awas kau!” ancamku penuh murka, namun Sa’dan tidak memperdulikan.
Sesudahnya aku bergabung dengan santri yang lain dan air kuning keemasan didalam bak mandi.
Sudah menjadi tradisi, saat menjadi abang letting kami tidak perlu membawa sabun dan pasta gigi disaat mandi, masih ada adik-adik dermawan yang penuh senyum memberikan sedikit goresan pasta gigi dan coletan sabun untuk membilas gigi dan tubuh kami. Tetapi kami juga menyimpulkan, senyum mereka bukan karena keikhlasan, melainkan karena ancaman. “yang pelit masuk mahkamah,” hahaha…. Abang letting tetap berkuasa. Hal yang menarik bukan?!
Tiba-tiba, suasana asrama pojok menjadi riuh, hampir belasan santri lari pontang-panting keluar pagar pesantren hanya dengan memakai handuk dipinggang, parahnya lagi ada santri yang handuknya nyangkut dikawat saat melompati pagar beton setinggi satu setengah meter. Mudah-mudahan dia masih memakai celana dalam.
“Peudawa…………” teriak Budi, santri seangkatanku dengan buih pasta gigi dimulutnya, tangannya menggenggam gayung mandi sambil berlari.
Zulhadi, yang juga teman sekamarku lari melewati Sa’dan yang sedang berganti basahan disudut tembok.
“Lari Dan, abangmu bawa rotan!” teriaknya tanpa berhenti.
“Tunggu aku…!” sahut Sa’dan kebingungan tanpa memperdulikan basahan yang belum penuh ditariknya hingga pinggang.
Aku meraih handuk yang sebelumnya kuletakkan dijejeran paku, Sa’dan dan santri yang lainnya sudah mulai berlari.
Cepat lari, Les!” teriak Sa’dan keras dari atas tembok.
Aku segera menyambut teriakan itu.
Seperti maling ayam, beberapa santri blangsatan melompati pagar. Lompatan kami penuh kompak tanpa perlu dikomandokan. Beberapa santri terlihat sudah sampai di gedung mushala belakang yang belum selesai pembangunannya, sebagian yang lain mengintip dari sudut gedung SMK, sementara yang lainnya lagi menghilang entah kemana. Aku dan dua orang santri lainnya mengikuti Sa’dan yang tengah menyusul Zulhadi berlari menuju persawahan dibelakang gedung SMK.
Sesampainya disana, nafas kami tidak lagi beraturan, detak jantung seperti tabuh genderang perang, lidah menjulur seperti anjing yang kelaparan. Sa’dan menarik celana basahannya sambil memberi kode kepada Habibi yang sedang mengawasi suasana dari balik tembok SMK, ia satu diantara belasan santri yang lari mendahuluiku.
Telunjuk Habibi menutupi bibir, menginstruksikan kami agar tetap diam.
“Ustadz Hasyimi, Ustadz Peudawa, Ustadz Nas, semua pegang rotan,” bisik Habibi gagap namun tetap terdengar di telinga kami, “kiban?” Habibi meminta pendapat dengan suara serak basah.
Kami saling pandang.
“Tetap disini sampai algojo balik ke mushala,” Sa’dan angkat bicara. Algojo adalah para Ustadz yang memburu santri-santri bejat seperti kami. Ustadz Hasyimi adalah momok guru yang sangat kami segani, Ustadz Peudawa adalah Pamong asrama Pojok, sementara Ustadz Nasruddin adalah guru sekaligus abang kandung dari sahabatku Ibnu Sa’dan alias Danker ini, sudah barang tentu Sa’dan terlebih dahulu angkat bicara untuk mencari aman.
Dalam beberapa detik keheningan menyertai kami dalam persembunyian ini, berharap aman tanpa mendapatkan hukuman dari sang pemburu santri. Suasana seperti ini hampir setiap menjelang magrib kami alami, semua ini bukan kesenangan melainkan suatu kebiasaan, dan ini hampir sulit untuk dihindari.
Sepuluh menit kemudian, azan berkumandang dari mushala didalam komplek pesantren, para pemburu santri sudah meninggalkan kami menyambut panggilan Tuhan didalam sana. Aku, Sa’dan, Zulhadi dan beberapa santri yang lain bergegas masuk kedalam komplek pesantren, bergegas membersihkan diri untuk segera masuk kedalam mushala. Kami bukanlah jama’ah shalat yang masbuk tetapi kami adalah jama’ah yang memang tidak shalat sama sekali, jelasnya kami masuk mushala bukan karena menghadap Tuhan, melainkan menghadiri absen massal dari Ustadz didalam mushala setelah shalat magrib. Gillaaa….!!!
ooOoo

Gedung bertingkat dua kokoh menjulang dengan deretan pohon cemara mengelilinginya. Tepat ditengah gedung terdapat tangga menuju lantai dua, disisi tangga terdapat ruang kepala sekolah Aliyah dan meja piket didepannya. Lantai satu adalah kawasan para Adam, sementara diatas adalah kawasan golongan Hawa. Walaupun penuh dengan pengawasan, Adam dan Hawa tetap saling mencuri pandang jika ada kesempatan, dan ini adalah kenyataan yang tidak terbantahkan.
Waktu menunjukkan pukul 09.45 menit.
Kelasku, 3 IPA 1 tidak masuk guru pengajar. Ismuha, ketua kelas sudah melaporkannya namun meja piket kosong tanpa penghuni. Dalam situasi ini, kami pun bergeliatan keluar kelas dengan leluasa.
Aku dan Sa’dan berkeliaran dimeja piket sementara yang lainnya berkumpul disudut gedung sebelah kanan yang menjorok kejalan raya Medan-Banda Aceh.
Aku dan Sa’dan mendapat keberuntungan ditempat ini, pertama: tebar pesona kepada santriwati yang naik turun melalui tangga, jika beruntung tentu bisa mendapatkan nama, selanjutnya: peluang mendapatkan nomor hanphone sudah didepan mata. Menarik bukan?
“Namanya siapa?” Sa’dan menggoda penuh pesona ketika dua orang santri melewati kami menaiki tangga. Aku siap mengawasi.
Perempuan cantik yang dimaksudkan Sa’dan itu hanya tersenyum menaiki tangga.
Bukan hanya Sa’dan, aku juga berdecak kagum dengan senyum perempuan tinggi langsing itu, kami semakin terbius dibuatnya.
Sa’dan berlari turun dari koridor gedung dengan tetap mendangahkan kepala kelantai dua. Perempuan itu terlihat lagi, kami semakin sumringah menatapnya.
“Namanya siapa?” bisik Sa’dan penuh manja.
Perempuan itu tidak bergeming.
“Maniis…., pemujamu ada disini!”
Langkah perempuan itu terhenti. Akankah?!
“Citra,” perempuan itu berujar pelan. Ternyata sahabatku ini berhasil.
“Abang Danker,” sambut Sa’dan lagi dengan mengacungkan jempol kepadaku dari belakang punggungnya, ini tanda jalan cinta sudah terbuka.
“Kring-kring olala…,” ujar Sa’dan lagi kepada Citra tanpa basa-basi.
Alis perempuan itu mengerenyit, Sa’dan membalasnya dengan anggukan penuh iba.
“Lima menit ya!” respon untuk Sa’dan.
Sa’dan mengerdipkan mata tanda setuju.
Kami kembali ke meja piket menunggu Citra memberikan nomor hanphonenya kepada Sa’dan.
Aku diberi tugas mengawasi, sementara Sa’dan kembali kepada perempuan tadi. Gulungan kertas kecil jatuh dihadapan Sa’dan dari lantai dua, aku celingukan mengawasi. Setelah berterimakasih Sa’dan menghampiriku dengan sebuntal kertas ditangan kanannya.
Perlahan gulungan itu dibuka.
“0852 xxxx xxxx,” kami baca dengan kompak diiringi senyum yang tak terbendung.
“BERHASIIILL….., hahahahaha………,” teriak kami penuh kegirangan hingga mengundang perhatian beberapa santri yang berdiri didepan kelas.
Mereka tersenyum tapi bergegas masuk kedalam kelas. Satu santri menunjuk ngeri kearah kami, aku dan Sa’dan saling pandang tapi tidak ada suatu keanehan.
Jangan-jangan?!
Kami kompak menoleh kebelakang penuh penasaran.
“Bagus!” ucap Ustadzah Marhas yang sejak tadi berdiri tegap memandang tajam kearah kami. Tanpa jeda aku dan Sa’dan berlari tunggang-langgang menghindari beliau, sementara santri yang lain sudah terlebih dahulu mencari perlindungan.
Hal ini hampir setiap hari kami lakukan, keluar kelas ketika tidak ada guru, tebar pesona pada para santri, kejar-kejaran dengan Ustadz-Ustadzah. Semua ini adalah hal yang menarik, karena jika hanya berdiam diri di dalam pondok pesantren hidupmu tidak akan berkesan. Bukan untuk menjadi jahat, tapi untuk memaknai harimu saat menempuh hidup di gubuk lajang.
ooOoo