SEJARAH SYARI’AT ISLAM DI ACEH BERDASARKAN PERIODENYA
Islam bertapak di Aceh pada akhir abad pertama hijriah,dengan
mendirikan sebuah kerajaan islam yang terletak di Bandar Khalifah-Pereulak,
Aceh Timur. Kerajaan islam ini didirikan pada tanggal 1 Muharram 225H dengan
raja pertamanya yang bernama Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah Yang
beraliran Syi’ah. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) hukum islam dengan
mazhab Syafi’i diterapkan secara kaffah yang meliputi bidang ibadah, ahwal
syakhshiyah, muamalah maliyah, jinayah,’uqubah, murafaah, iqtishadiyah,
dusturiyah, akhlaqiyah dan alqah dauliyah yang akhirnya dikodifikasikan menjadi
qanun al-Asyi (Adat Meukuta Alam).
a.
Syariah Islam Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan belanda, Qanun al-Asyi diganti dengan hukum buatan
sendiri yang tidak berlandaskan ajaran islam. Dalam masalah pidana, kekuasaan
peradilan pribumi dicabut sama sekali. Larangan pelaksanaan potong tangan untuk
pencurian dan larangan hukum bunuh sebagai qishas(untuk pembunuhan sengaja)
pertama sekali terjadi di wilayah Kerajaan Linge (Gayo) pada tahun 1915.
Belanda menghalangi jenis hukuman yang telah diputuskan peradilan adat ini dan
menggantinya dengan hukuman buang yaitu mengasingkan para pelaku tindak pidana
keluar dari wilayah kerajaan linge. Pelarangan hukum pidana, qishah dan diyat
ini menimbulkan rasa sakit hati masyarakat Aceh, yang berkeinginan pelaksanaan
syariat islam secara kaffah.
b.
Syariat Islam Masa Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan rakyat aceh terus berusaha menerapkan Syari’at
Islam melalui pembentukan lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh.
Maka atas izin (perintah) Gubenur Sumatera (waktu itu Aceh merupakan sebuah keresidenan) melalui surat kawat Nomor
189,tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh untuk membentuk
Mahkamah Syari’ah (tidak memerlukan
pengukuhan dari pengadilan negri) dan relative luas di bidang hukum
keluarga dari nafkah, kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak, perceraian dan
pengesahan perkawinan dan kewarisan.
Maka pada Juni 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh untuk meminta
dua buah pesawat kepada rakyat Aceh guna menyebarkan kemerdekaan Indonesia,
dengan penuh keihklasan rakyat Aceh menyumbangkan dua buah pesawat terbang
yaitu Seulawah 1 dan Seulawah 2 dengan harapan syari’at islam dapat kembali
diterapkan di Aceh sesuai dengan janji presiden Soekarno.
Pada tahun 1949 Aceh ditingkatkan statusnya menjadi provinsi. Tetapi pada
tahun 1950 sebagai akibat pembubaran RIS dan diberlakukannya UUDS 1950,
provinsi Aceh dibubarkan dan menjadi bagian dari Provinsi Sumatra Utara.
Pembubaran ini menjadikan pelaksanaan Syari’at Islam tidak menentu, bahkan
nasib Mahkamah Syari’ah menjadi tidak jelas. Ketidakpuasan ini berujung dengan
pecahnya pemberontakan DI-TII pada tahun 1953-1959. Dibawah pimpinan Abu Daud
Beureueh.
Pada tahun 1956 provinsi Aceh dibentuk kembali, tetapi kewenangannya
tidaklah seluas provinsi yang pertama, dan karena itu keberadaan mahkamah
Syari’ah tetap tidak jelas. Akhirnya pada bulan Agustus 1957 Pemerintah Pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1957 tentang pengakuan atas
Mahkamah Syari’ah (yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintahan No 45
tahun 1957) serta susunan dan kewenangannya. Pengakuan ini tidak menghentikan
tuntutan pelaksanaan syari’at Islam karena kewenangan mahkammah ini lebih
sempit dari sebelummnya, pada tahun 1947. Seperti, putusan Pengadilan agama
hanya bisa dijalankan setelah memperoleh ”pengukuhan” dari Pengadilan Negri dan
yang menjalankannya pun adalah Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, eksistensi
Pengadilan Agama sangat tergantung pada” belas kasihan” pengadilan Negri. PP
ini tidak berjalan efektif di Aceh
karena masalah yang telah diputus di Mahkamah Syari’ah diperiksa dan diputus
kembali oleh Pengadilan Negri dan
sebaliknya. Dan keadaan ini bisa teratasi setelah terjadi kesepakatan antara
Pengadilan Negri Aceh dengan mahkamah Syari’ah pada tahun 1969 bahwa semua
masalah sengketa perkawinan dan kewarisan diserahkan ke Mahkamah Syariah, namun
pelaksanaannya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negri.
c. Syari’at islam Masa Fatamorgana
Keistimewaan
Pada tahun 1959 terjadi kesepakatan antara wakil DI-TII dengan wakil
Pemerintah Pusat yang popular dikenal dengan Missi Hardi, yang dituangkan dalam keputusan Perdana Menteri RI No
1/Missi/1959. Kepada Aceh diberikan status Daerah Istimewa Aceh dengan otonomi
seluas-luasnya dalam bidang agama, pendidiikan,
dan peradatan. Setelah ini “keputusan Penguasa Perang Panglima Daerah Militer
I/ Iskandar Muda”, April 1962 menyatakan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di
Aceh terpulang kepada Pemerintahan Daerah Keistimewaan Aceh. Tetapi Keistiwaan dan pelaksanaan Syari’at Islam
tidak dapat direalisasikan karena Pemerintah pusat tidak mengeluarkan peraturan
pelaksanaannya.
d. Syari’at Islam Era Reformasi
Pada Era Reformasi, tuntutan pelaksanaan Syari’at Islam tidaklah surut
bahkan meningkat dan mendapat sambutan dari DPR. Kekecewaan masyarakat Aceh
terobati ketika tanggal 4 Oktober 1999, President Bj. Habibi menandatangani UU
No 44 Tahun 1999 yang isinya merupakan peraturan pelaksanaan untuk keistimewaan
yang diberikan kepada Aceh pada tahun 1959 lalu.
Sementara itu, pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati soekarno
Putri menandatangani UU No 18 tahun 2001 tentan Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Undang-
undang ini kepada Aceh diberikan
wewenang yang meliputi seluruh bidang Syari’at yang berkaitan dengan peradilan
yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari’ah, baik dari tingkat rendah (sagoe)
ataupun tingkat tinggi (Nanggroe) yang kewenangannya ditetapkan dengan Qanun.
Untuk penerapan UU tersebut, maka ditetapkanlah Qanun No 33 Tahun 2001
tentang pembentukan Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas Syari’at Islam
Prov. Daerah Istimewa Aceh, Qanun No 10 tahun 2002 tentang kewenangan Mahkamah
Syari’ah, Qanun No 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang
Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, Qanun No 12 tahun 2003 tentan Minuman khamar
dan sejenisnya, Qanun No 13 tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No 14 tahun 2003
tentang Khalwat, Qanun No 23 tahun 2003 tentang penyelenggaraan Pendidikan,
Qanun No 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat dan Qanun No 11 tahun 2004
tentang tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nangroe Aceh Darussalam.
DASAR HUKUM PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH
Yang menjadi
dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah:
a. Undang-
undang Republik Indonesia No 44 Tahun 1999
Bagian kedua
Penyalenggaraan
Kehidupan Beragama
Pasal 4
1)
Penyelenggaraan
kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam
bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.
2)
Daerah
mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat
beragama.
Sedangkan makna/cangkupan syariat Islam yang akan dilaksanakan dan
beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya dijelaskan dalam pasal 11
tentang ketentuan umum :
8)
Keistimewaan
adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat,
pendidikan dan peran ulama adalah penetapan kebijakan daerah.
9)
Kebijakan
daerah adalah peraturan daerah atau keputusan Gubernur yang bersifat mengatur
dan mengikat dalam penyelenggaraan Keistimewaan.
10)
Syari’at
Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
11)
Adat
adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam yang lazim dituruti,
dihormati dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup.
b. Undang-
undang Republik Indonesia N0 11 Tahun
2006
BAB XVII
SYARI’AT ISLAM DAN
PELAKSANAANNYA
Pasal 125
1) Syari’at
Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.
2) Syari’at
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal
alsyakhshiyah(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum
pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan
pembelaan Islam.
3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun
Aceh.
Pasal 126
1) Setiap
pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati dan mengamalkan syari’at Islam.
2) Setiap
orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan
syari’at Islam.
Pasal 127
1) Pemerintahan
Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelaksanaan syari’at Islam.
2) Pemerintahan
Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menjamin kebebasan, membina kerukunan,
menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi
sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang
dianutnya.
3) Pemerintah,
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota mengalokasikan dana dan sumber
daya lainnya untuk pelaksanaan syari’at Islam.
4) Pendirian
tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.
5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Qanun yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.
TUGAS MAHKAMAH SYARI’AH, KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN
LENGKAP DENGAN DASAR HUKUMNYA
a. Undang-
undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006
BAB XVIII
MAHKAMAH SYAR’IYAH
Pasal 128
3) Mahkamah
Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.
b.
Qanun Prov.
Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at Islam
Mahkamah Syari’ah prov
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan
Mahkamah Syari’ah dalam tingkat banding. Mahkamah Syariah prov. Juga bertugas
dalam berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan antar mahkamah syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam.
c.
Undang - undang
Republik Indonesia No 11 tahun 2006
BAB XXVII
KEJAKSAAN
Pasal 208
2) Kejaksaan
di Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum
termasuk pelaksanaan syari’at Islam.
Selain itu juga kejaksaan menangani perkara
Pidana yang diatur dalam qanun sebagaimana dimaksud dalam UU No 18 tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi Prov. Daerah Istimewa Aceh sebagai Prov. Nanggroe
Aceh Darussalam sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ,
Sebagai dasar hukumnya adalah UU Rl No 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Bab IV,
pasal 39.
d.
Undang - undang
Republik Indonesia No 11 tahun 2006
BAB XXVI
KEPOLISIAN
Pasal 204
2)
Kepolisian di Aceh bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan.
Tugas Pokok Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
selain sebagaimana tersebut dalam UU kepolisian Negara Rl, juga melaksanakan
tugas dan wewenang dibidang Syari'at Islam, peradatan dan tugas-tugas
Fungsional lainnya yang diatur dalam berbagai UU terkait.
Dalam melaksanakan tugas pokok, Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam bertugas:
a.
Melaksanakan tugas umum
kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian
Negara Republik Indonesia
b.
Melaksanakan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana (jarimah) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Qanun dibidang Syari'at Islam, Peradatan dan Qanun terkait
lainnya.
Sebagai dasar hukumnya Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No 11
Tahun 2004 tentang tugas Fungsional kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
ASPEK - ASPEK SYARI’AT ISLAM YANG DITERAPKAN DI ACEH
Dalam bidang perdata mencangkupi dari aspek:
·
Aqidah.
·
Ibadat ( Shalat, puasa, zakat, dan rumah
ibadat/masjid, waqaf, haji).
·
Syiar Islam.
Dasar hukumnya adalah:
·
Qanun Provinsi No 11
Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari'at Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi'ar Islam.
·
Qanun provinsi No 7
tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Dalam bidang pidana mencangkupi aspek:
·
Bidang pidana pertama
adalah peraturan yang berkaitan dengan perlindungan moral yaitu larangan
meminum khamar, perjudian, zina dan pemerkosaan.
·
Bidang pidana kedua
adalah peraturan yang berkaitan dengan perlindungan harta kekayaan yaitu
pencurian, penggelapan, penipuan, perampokan/ perampasan, dan pengrusakan
barang milik orang lain.
·
Bidang pidana ketiga
adalah peraturan yang berkaitan dengan perlindungan nyawa manusia yaitu
larangan pembunuhan, penganiayaan atau perlukaan.
Dasar hukumnya adalah:
·
Qanun provinsi No 12
tahun 2003 tentang minuman khamar.
·
Qanun provinsi No 13
tahun 2003 tentang maisir.
·
Qanun provinsi No 14
tahun 2003 tentang khalwat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar