Rabu, 04 Mei 2011

SYARI’AT ISLAM DI ACEH


SEJARAH SYARI’AT ISLAM DI ACEH BERDASARKAN PERIODENYA

            Islam bertapak di Aceh pada akhir abad pertama hijriah,dengan mendirikan sebuah kerajaan islam yang terletak di Bandar Khalifah-Pereulak, Aceh Timur. Kerajaan islam ini didirikan pada tanggal 1 Muharram 225H dengan raja pertamanya yang bernama Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah Yang beraliran Syi’ah. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) hukum islam dengan mazhab Syafi’i diterapkan secara kaffah yang meliputi bidang ibadah, ahwal syakhshiyah, muamalah maliyah, jinayah,’uqubah, murafaah, iqtishadiyah, dusturiyah, akhlaqiyah dan alqah dauliyah yang akhirnya dikodifikasikan menjadi qanun al-Asyi (Adat Meukuta Alam).


a.      Syariah Islam Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan belanda, Qanun al-Asyi diganti dengan hukum buatan sendiri yang tidak berlandaskan ajaran islam. Dalam masalah pidana, kekuasaan peradilan pribumi dicabut sama sekali. Larangan pelaksanaan potong tangan untuk pencurian dan larangan hukum bunuh sebagai qishas(untuk pembunuhan sengaja) pertama sekali terjadi di wilayah Kerajaan Linge (Gayo) pada tahun 1915. Belanda menghalangi jenis hukuman yang telah diputuskan peradilan adat ini dan menggantinya dengan hukuman buang yaitu mengasingkan para pelaku tindak pidana keluar dari wilayah kerajaan linge. Pelarangan hukum pidana, qishah dan diyat ini menimbulkan rasa sakit hati masyarakat Aceh, yang berkeinginan pelaksanaan syariat islam secara kaffah.

b.      Syariat Islam Masa Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan rakyat aceh terus berusaha menerapkan Syari’at Islam melalui pembentukan lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh. Maka atas izin (perintah) Gubenur Sumatera (waktu itu Aceh merupakan  sebuah keresidenan) melalui surat kawat Nomor 189,tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh untuk membentuk Mahkamah Syari’ah (tidak memerlukan  pengukuhan dari pengadilan negri) dan relative luas di bidang hukum keluarga dari nafkah, kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak, perceraian dan pengesahan perkawinan dan kewarisan.
Maka pada Juni 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh untuk meminta dua buah pesawat kepada rakyat Aceh guna menyebarkan kemerdekaan Indonesia, dengan penuh keihklasan rakyat Aceh menyumbangkan dua buah pesawat terbang yaitu Seulawah 1 dan Seulawah 2 dengan harapan syari’at islam dapat kembali diterapkan di Aceh sesuai dengan janji presiden Soekarno.
Pada tahun 1949 Aceh ditingkatkan statusnya menjadi provinsi. Tetapi pada tahun 1950 sebagai akibat pembubaran RIS dan diberlakukannya UUDS 1950, provinsi Aceh dibubarkan dan menjadi bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Pembubaran ini menjadikan pelaksanaan Syari’at Islam tidak menentu, bahkan nasib Mahkamah Syari’ah menjadi tidak jelas. Ketidakpuasan ini berujung dengan pecahnya pemberontakan DI-TII pada tahun 1953-1959. Dibawah pimpinan Abu Daud Beureueh.
Pada tahun 1956 provinsi Aceh dibentuk kembali, tetapi kewenangannya tidaklah seluas provinsi yang pertama, dan karena itu keberadaan mahkamah Syari’ah tetap tidak jelas. Akhirnya pada bulan Agustus 1957 Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1957 tentang pengakuan atas Mahkamah Syari’ah (yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintahan No 45 tahun 1957) serta susunan dan kewenangannya. Pengakuan ini tidak menghentikan tuntutan pelaksanaan syari’at Islam karena kewenangan mahkammah ini lebih sempit dari sebelummnya, pada tahun 1947. Seperti, putusan Pengadilan agama hanya bisa dijalankan setelah memperoleh ”pengukuhan” dari Pengadilan Negri dan yang menjalankannya pun adalah Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, eksistensi Pengadilan Agama sangat tergantung pada” belas kasihan” pengadilan Negri. PP ini tidak  berjalan efektif di Aceh karena masalah yang telah diputus di Mahkamah Syari’ah diperiksa dan diputus kembali  oleh Pengadilan Negri dan sebaliknya. Dan keadaan ini bisa teratasi setelah terjadi kesepakatan antara Pengadilan Negri Aceh dengan mahkamah Syari’ah pada tahun 1969 bahwa semua masalah sengketa perkawinan dan kewarisan diserahkan ke Mahkamah Syariah, namun pelaksanaannya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negri.

c.       Syari’at islam Masa Fatamorgana Keistimewaan
Pada tahun 1959 terjadi kesepakatan antara wakil DI-TII dengan wakil Pemerintah Pusat yang popular dikenal dengan Missi Hardi, yang dituangkan  dalam keputusan Perdana Menteri RI No 1/Missi/1959. Kepada Aceh diberikan status Daerah Istimewa Aceh dengan otonomi seluas-luasnya  dalam bidang agama, pendidiikan, dan peradatan. Setelah ini “keputusan Penguasa Perang Panglima Daerah Militer I/ Iskandar Muda”, April 1962 menyatakan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh terpulang kepada Pemerintahan Daerah Keistimewaan Aceh. Tetapi  Keistiwaan dan pelaksanaan Syari’at Islam tidak dapat direalisasikan karena Pemerintah pusat tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.

d.      Syari’at Islam Era Reformasi
Pada Era Reformasi, tuntutan pelaksanaan Syari’at Islam tidaklah surut bahkan meningkat dan mendapat sambutan dari DPR. Kekecewaan masyarakat Aceh terobati ketika tanggal 4 Oktober 1999, President Bj. Habibi menandatangani UU No 44 Tahun 1999 yang isinya merupakan peraturan pelaksanaan untuk keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada tahun 1959 lalu.
Sementara itu, pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati soekarno Putri menandatangani UU No 18 tahun 2001 tentan Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Undang- undang ini  kepada Aceh diberikan wewenang yang meliputi seluruh bidang Syari’at yang berkaitan dengan peradilan yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari’ah, baik dari tingkat rendah (sagoe) ataupun tingkat tinggi (Nanggroe) yang kewenangannya ditetapkan dengan Qanun.
Untuk penerapan UU tersebut, maka ditetapkanlah Qanun No 33 Tahun 2001 tentang pembentukan Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas Syari’at Islam Prov. Daerah Istimewa Aceh, Qanun No 10 tahun 2002 tentang kewenangan Mahkamah Syari’ah, Qanun No 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, Qanun No 12 tahun 2003 tentan Minuman khamar dan sejenisnya, Qanun No 13 tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No 14 tahun 2003 tentang Khalwat, Qanun No 23 tahun 2003 tentang penyelenggaraan Pendidikan, Qanun No 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat dan Qanun No 11 tahun 2004 tentang tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nangroe Aceh Darussalam.

DASAR HUKUM PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH

Yang menjadi dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah:

a.      Undang- undang Republik Indonesia No 44 Tahun 1999
Bagian kedua
Penyalenggaraan Kehidupan Beragama
Pasal 4
1)      Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.
2)      Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.
Sedangkan makna/cangkupan syariat Islam yang akan dilaksanakan dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya dijelaskan dalam pasal 11 tentang ketentuan umum :
8)      Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama adalah penetapan kebijakan daerah.
9)      Kebijakan daerah adalah peraturan daerah atau keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan Keistimewaan.
10)  Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
11)  Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam yang lazim dituruti, dihormati dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup.

b.      Undang- undang  Republik Indonesia N0 11 Tahun 2006
BAB XVII
SYARI’AT ISLAM DAN PELAKSANAANNYA
Pasal 125
1)      Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.
2)      Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 126
1)      Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati dan mengamalkan syari’at Islam.
2)      Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam.
Pasal 127
1)      Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam.
2)      Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
3)      Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota mengalokasikan dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan syari’at Islam.
4)      Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
5)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Qanun yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.

TUGAS MAHKAMAH SYARI’AH, KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN LENGKAP DENGAN DASAR HUKUMNYA

a.      Undang- undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006
BAB XVIII
MAHKAMAH SYAR’IYAH
Pasal 128
3)      Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.

b.      Qanun Prov. Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at Islam
Mahkamah Syari’ah prov bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syari’ah dalam tingkat banding. Mahkamah Syariah prov. Juga bertugas dalam berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar mahkamah syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam.

c.       Undang - undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006
BAB XXVII
KEJAKSAAN
Pasal 208
2)      Kejaksaan di Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum termasuk pelaksanaan syari’at Islam.
Selain itu juga kejaksaan menangani perkara Pidana yang diatur dalam qanun sebagaimana dimaksud dalam UU No 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Prov. Daerah Istimewa Aceh sebagai Prov. Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , Sebagai dasar hukumnya adalah UU Rl No 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Bab IV, pasal 39.

d.      Undang - undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006
BAB XXVI
KEPOLISIAN
Pasal 204
2)      Kepolisian di Aceh bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Tugas Pokok Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam selain sebagaimana tersebut dalam UU kepolisian Negara Rl, juga melaksanakan tugas dan wewenang dibidang Syari'at Islam, peradatan dan tugas-tugas Fungsional lainnya yang diatur dalam berbagai UU terkait.
Dalam melaksanakan tugas pokok, Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam bertugas:
a.       Melaksanakan tugas umum kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian Negara Republik Indonesia
b.      Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana (jarimah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan Qanun dibidang Syari'at Islam, Peradatan dan Qanun terkait lainnya.
Sebagai dasar hukumnya Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No 11 Tahun 2004 tentang tugas Fungsional kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

ASPEK - ASPEK  SYARI’AT ISLAM YANG DITERAPKAN DI ACEH

Dalam bidang perdata mencangkupi dari aspek:
·         Aqidah.
·         Ibadat ( Shalat, puasa, zakat, dan rumah ibadat/masjid, waqaf, haji).
·         Syiar Islam.

Dasar hukumnya adalah:
·         Qanun Provinsi No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari'at Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi'ar Islam.
·         Qanun provinsi No 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

Dalam bidang pidana mencangkupi aspek:
·         Bidang pidana pertama adalah peraturan yang berkaitan dengan perlindungan moral yaitu larangan meminum khamar, perjudian, zina dan pemerkosaan.
·         Bidang pidana kedua adalah peraturan yang berkaitan dengan perlindungan harta kekayaan yaitu pencurian, penggelapan, penipuan, perampokan/ perampasan, dan pengrusakan barang milik orang lain.
·         Bidang pidana ketiga adalah peraturan yang berkaitan dengan perlindungan nyawa manusia yaitu larangan pembunuhan, penganiayaan atau perlukaan.

Dasar hukumnya adalah:
·         Qanun provinsi No 12 tahun 2003 tentang minuman khamar.
·         Qanun provinsi No 13 tahun 2003 tentang maisir.
·         Qanun provinsi No 14 tahun 2003 tentang khalwat.

***

Tidak ada komentar: