Rabu, 04 Mei 2011

Tindak Pidana Perkosaan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah.
Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.[1]
Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Sudarto berpendapat (seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana) bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.”[2]
Alasan kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.
Upaya perekayasaan hukum tentang perkosaan di Indonesia kiranya merupakan momentum yang tepat karena pembangunan hokum di dalam era Pembangunan Jangka Panjang II antara lain bertujuan untuk melaksanakan penyusunan suatu sistem hukum (pidana) nasional. Sekalipun naskah rancangan KUHP Nasional (di bawah judul: Tindak Pidana Terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan di muka Umum, Bab XVI Pasal 467) sudah selesai disusun namun rancangan ketentuan sekitar tindak pidana di bidang kesusilaan (bukan jenisnya melainkan konstruksi hukumnya) masih memerlukan kajian secara khusus terutama dari sudut pendekatan kriminologi dan viktimologi.[3]
Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya.
Berdasarkan hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam:[4]
1.      Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah member perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.
2.      Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101, dimana korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya.
Dalam dimensi sistem peradilan pidana, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu:
a.       Aspek Positif
KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan perlindungan kepada korban dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu:
Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang dilihat sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).
Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa.
Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, member keterangan mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi, dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian.
b.      Aspek Negatif
Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mandapat perhatian secara proporsional7, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung.
3.      Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP
Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang- Undang di luar KUHP dan KUHAP. Hanya, orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung. Undang-Undang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
b.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
c.       Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
d.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual lakilaki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial.

B.     RUMUSAN MASALAH
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak pidana perkosaan sangatlah kompleks. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya perkosaan yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Korban tindak pidana perkosaan bisa menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan bisa juga mendapat perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri.
Dari uraian di atas, maka ruang lingkup dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apa ide dasar perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan?
2.      Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan?

C.    TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui ide dasar perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan.
2.      Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untu memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.

D.    MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Secara Teoritis, Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis tentang perlindungan korban tindak pidana perkosaan dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai masalahmasalah perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.
2.      Secara praktis, hasil penulisan yang berfokus pada perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    IDE DASAR PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Ide dasar yang dipakai dalam penelitian ini adalah gagasan tentang suatu objek atau fenomena tertentu yang bersifat mendasar, yang dijadikan patokan atau sudut pandang. Ide dasar merupakan pandangan dunia (weltblit) yang diyakini dan menentukan cara pandang terhadap suatu fenomena. Ia berfungsi sebagai the central cognitive resource (pusat sumber pengamatan) yang menentukan rasionalitas suatu fenomena, baik tentang apa yang menjadi pokok persoalan maupun cara melihat dan menjelaskan fenomena itu.
Sebagai gagasan yang bersifat mendasar, maka ide dasar lebih menyerupai cita, yakni gagasan dasar mengenai suatu hal. Misalnya cita hukum atau rechtsidee, merupakan konstruksi piker (ide) yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan. Seperti yang dikatakan Rudolf Stamler, cita hukum merupakan leitstern (bintang pemandu) bagi tercapainya cita-cita masyarakat.
Karena itu, cita hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan perilaku hukum. Jadi, dirumuskan dan dipahaminya cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku serta memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelenggaran hukum.[5]
Dengan demikian, sebuah ide dasar selalu bersifat konstitutif, artinya, ide dasar itulah yang menentukan masalah, metode, dan penjelasan yang dianggap relevan untuk ditelaah, atau mengikuti alur pikir Gustav Radbruch mengenai rechtsidee yang menurutnya berfungsi sebagai dasar yang bersifat konsitutif bagi hukum positif.[6]
Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan yang dialaminya. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis.
Adapun penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari perkosaan dapat dibedakan menjadi:

a.         Dampak secara fisik
Antara lain: sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual, luka pada bibir (lesion on lip caused by scratch), luka pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, luka pada dagu, infeksi pada alat kelamin, kemungkinan tidak dapat melahirkan anak, penyakit kelamin, inveksi pada panggul, dan lain-lain.
b.         Dampak secara mental
Antara lain: sangat takut sendirian, takut pada orang lain, nervous, ragu-ragu (kadang paranoia), sering terkejut, sangat khawatir, sangat hati-hati dengan orang asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria, takut dengan pria, takut akan sex, merasa bahwa orang lain tidak menyukainya, dingin (secara emosional), sulit berhadapan dengan publik dan temantemannya, membenci apa saja, menarik diri/mengisolasi diri, mimpi-mimpi buruk, dan lain-lain.
c.       Dampak dalam kehidupan pribadi dan social Antara lain: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk, tidak menyukai sex, sulit jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, mennghindari setiap pria, dan lain-lain.

B.     PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA

Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1.      compassion, respect and recognition;
2.       receive information and explanation about the progress of the case;
3.      provide information;
4.      providing proper assistance;
5.      protection of privacy and physical safety;
6.      restitution and compensation;
7.       to access to the mechanism of justice system.
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain:
1.      Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2.      Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3.      Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4.      Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5.      Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
6.      Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan;
7.      Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak semata-mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban perkosaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Upaya perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a.       Perlindungan Oleh Hukum
Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum juga bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi.
Berdasarkan ilmu hukum, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam:


1.      Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”

Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.
2.      Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban, khususnya korban perkosaan. Jadi selain pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Namun selama ini jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian dalam perkara perkosaan yang ditanganinya. Meskipun korban mengungkapkannya atau menyampaikannya untuk sekalian diajukan gugatan ganti kerugian, namun jaksa belum pernah mengajukan itu dan hakim pun belum pernah mengarah kesitu. Gugatan ganti kerugian hanya ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja. Prakteknya...???
b.      Perlindungan Oleh Masyarakat
1.      Keluarga
Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa perkosaan yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada dasarnya korban perkosaan adalah merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuat kondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.
2.      Masyarakat
Tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban122, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan juga dilakukan selama proses peradilan yang dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut:
a.       Sebelum Sidang Pengadilan
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan, pertama kali diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Polri telah membentuk suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diawaki oleh Polwan yang terwadahi dalam satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada umumnya masyarakat mencibir korban perkosaan dengan menilai bahwa perkosaan yang terjadi adalah kesalahannya sendiri dan korban dianggap sengaja memancing terjadinya perkosaan, selain itu tidak jarang masyarakat menyebut korban perkosaan dengan sebutan wanita nakal dan dianggap membawa aib dalam masyarakat.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh pengertian dan professional.

b.      Selama Sidang Pengadilan
Selama proses sidang pengadilan, korban dalam memberikan kesaksian didampingi oleh anggota LBH/LSM supaya korban dapat lebih tenang dan tidak merasa takut dalam persidangan. Mengingat korban masih labil psikisnya dan merasa tertekan setelah menjalani pemeriksaan selama proses peradilan, maka upaya pendampingan sangat dibutuhkan oleh korban. Apalagi dalam persidangan, korban harus dipertemukan lagi dengan pelaku yang dapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhi kesaksian yang akan diberikan dalam persidangan.
Bentuk-bentuk perlindungan selama sidang pengadilan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pasal 4 yang berbunyi:
a)      Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental,
b)      Perahasiaan identitas korban dan saksi,
c)      Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di siding pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Perlindungan senada juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat (1) huruf a s/d g yang berbunyi:
a)      Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya,
b)      Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan,
c)      Memberikan keterangan tanpa tekanan,
d)     Mendapat penerjemah,
e)      Bebas dari pertanyaan yang menjerat,
f)       Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus,
g)      Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
c.       Setelah Sidang Pengadilan
Setelah pelaku dijatuhi hukuman oleh hakim, maka sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf h s/d m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, maka korban berhak mendapatkan perlindungan yang antara lain sebagai berikut:
a)      Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan,
b)      Mendapatkan identitas baru,
c)      Mendapatkan tempat kediaman baru,
d)     Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan,
e)      Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau,
f)       Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan akhir.
Selama ini belum ada aparat yang memberikan perlindungan secara maksimal. Upaya negara untuk memberikan perlindungan dengan peraturan perundang-undangan pun belum maksimal. Hanya pendamping (LSM/LBH) yang memberikan layanan bagi perempuan korban perkosaan saja yang selama ini bergerak maksimal.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi apa yang ada di dalamnya belum dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Penangan kasus perkosaan juga terlampau panjang karena harus mengikuti prosedur hukum yang membuat korban menjadi enggan berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan.
Oleh karena itu, perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem penegakan hukum yang berkeadilan jender. Perubahan/reformasi ini diharapkan mampu membawa pemahaman mengenai kepekaan jender bagi aparat penegak hukum agar bersikap tanggap terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan (perkosaan) yang dialaminya.
Bicara mengenai reformasi penegakan hukum yang berkeadilan jender, menyangkut bagaimana sistem penegakan hukum yang ada mampu mengeluarkan kebijakan yang menjamin perlindungan terhadap kepentingan dan hak asasi perempuan. Perlindungan dalam proses penegakan hukum, mulai dari proses pelaporan, pemeriksaan, penyidikan, hingga persidangan berakhir.


BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana perkosaan tidak ringan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bias memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.


DAFTAR PUSTAKA

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996).

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995).

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2004).

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Strukutur Ilmu Hukum, (Mandar Maju, 1999).

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2001).

Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta: PT. Alumni, 2000).

Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986).

Anonim, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004).



[1] Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 81.
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 1-2.
[3] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 106.
[4] Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 135-144.
[5] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Strukutur Ilmu Hukum, (Mandar Maju, 1999), hal. 181.
[6] Ibid, hal. 309.

Tidak ada komentar: