BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Saat ini tindak
pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan
masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana
perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah
ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang
akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu
ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh
dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota
besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan
hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai
tradisi dan adat istiadat.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial dewasa ini, banyak terjadi
kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah.
Kasus tindak
pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik
pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain
kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau
perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.[1]
Walaupun banyak
tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari
kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d
296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang
menyatakan:
“Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”
Sudarto
berpendapat (seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana) bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan
suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal.
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena
itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah
“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.”[2]
Alasan
kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum
untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa
malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau
korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh
jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi
perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses
penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan
masyarakat.
Upaya
perekayasaan hukum tentang perkosaan di Indonesia kiranya merupakan momentum
yang tepat karena pembangunan hokum di dalam era Pembangunan Jangka Panjang II
antara lain bertujuan untuk melaksanakan penyusunan suatu sistem hukum (pidana)
nasional. Sekalipun naskah rancangan KUHP Nasional (di bawah judul: Tindak
Pidana Terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan di muka Umum, Bab XVI Pasal 467)
sudah selesai disusun namun rancangan ketentuan sekitar tindak pidana di bidang
kesusilaan (bukan jenisnya melainkan konstruksi hukumnya) masih memerlukan
kajian secara khusus terutama dari sudut pendekatan kriminologi dan
viktimologi.[3]
Faktor korban
berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini,
hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang
menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan
dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma.
Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan
proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang
menimpa dirinya.
Berdasarkan
hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi
terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana
Positif Indonesia diatur dalam:[4]
1.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit,
ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah member perlindungan terhadap
korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana
tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa
orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak
pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah
itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut
ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada
terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada
korban.
2.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang
Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101, dimana korban dapat
mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian
yang dideritanya.
Dalam dimensi sistem
peradilan pidana, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana
mempunyai dua aspek, yaitu:
a.
Aspek Positif
KUHAP, melalui
lembaga praperadilan, memberikan perlindungan kepada korban dengan melakukan
kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol
ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya
tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan
korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu:
Pertama, korban hadir di sidang
pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi
kesaksian tentang apa yang dilihat sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka
26 KUHAP).
Kedua, korban hadir di sidang pengadilan
dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan
gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang
dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa.
Karena itu,
saksi korban dalam kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran
“saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, member keterangan
mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi, dalam
kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya
aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian.
b.
Aspek Negatif
Sebagaimana
diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada
sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai
aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban
ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya,
korban belum mandapat perhatian secara proporsional7, atau perlindungan korban
lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung.
3.
Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP
Perlindungan
korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang- Undang di luar KUHP dan KUHAP.
Hanya, orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak.
Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung. Undang-Undang
dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
b.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
c.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
d.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
Tindak pidana
perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan
contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual
laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual
lakilaki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia
terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik
serta psikis.
Perhatian dan
perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui
proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu
merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana
dan kebijakan kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
Berdasarkan
tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum, maka hak
korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian
integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial.
B.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan-permasalahan
yang dihadapi oleh korban tindak pidana perkosaan sangatlah kompleks.
Permasalahan yang dihadapi tidak hanya perkosaan yang terjadi pada dirinya,
namun juga terjadi dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Korban
tindak pidana perkosaan bisa menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan
bisa juga mendapat perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari
keadilan itu sendiri.
Dari uraian di
atas, maka ruang lingkup dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Apa ide dasar perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana perkosaan?
2.
Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana perkosaan?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang
ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui ide dasar perlindungan terhadap korban
tindak pidana perkosaan.
2.
Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untu memberikan
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.
D.
MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat penulisan
ini adalah sebagai berikut :
1.
Secara Teoritis, Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya
pemahaman teoritis tentang perlindungan korban tindak pidana perkosaan dan
dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai masalahmasalah perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.
2.
Secara praktis, hasil penulisan yang berfokus pada perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana perkosaan ini diharapkan bisa menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan
solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana perkosaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IDE DASAR PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK
PIDANA PERKOSAAN
Ide dasar yang
dipakai dalam penelitian ini adalah gagasan tentang suatu objek atau fenomena
tertentu yang bersifat mendasar, yang dijadikan patokan atau sudut pandang. Ide
dasar merupakan pandangan dunia (weltblit) yang diyakini dan menentukan
cara pandang terhadap suatu fenomena. Ia berfungsi sebagai the central cognitive
resource (pusat sumber pengamatan) yang menentukan rasionalitas suatu
fenomena, baik tentang apa yang menjadi pokok persoalan maupun cara melihat dan
menjelaskan fenomena itu.
Sebagai gagasan
yang bersifat mendasar, maka ide dasar lebih menyerupai cita, yakni gagasan
dasar mengenai suatu hal. Misalnya cita hukum atau rechtsidee, merupakan
konstruksi piker (ide) yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan.
Seperti yang dikatakan Rudolf Stamler, cita hukum merupakan leitstern
(bintang pemandu) bagi tercapainya cita-cita masyarakat.
Karena itu, cita
hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding
principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam
penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan perilaku
hukum. Jadi, dirumuskan dan dipahaminya cita hukum akan memudahkan
penjabarannya ke dalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku
serta memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelenggaran hukum.[5]
Dengan demikian,
sebuah ide dasar selalu bersifat konstitutif, artinya, ide dasar itulah yang
menentukan masalah, metode, dan penjelasan yang dianggap relevan untuk
ditelaah, atau mengikuti alur pikir Gustav Radbruch mengenai rechtsidee
yang menurutnya berfungsi sebagai dasar yang bersifat konsitutif bagi hukum
positif.[6]
Perlunya
perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat
yang dialami korban setelah perkosaan yang dialaminya. Korban tidak saja
mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis.
Adapun
penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari perkosaan dapat dibedakan
menjadi:
a.
Dampak secara fisik
Antara lain:
sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual,
luka pada bibir (lesion on lip caused by scratch), luka pada alat
kelamin, kesulitan buang air besar, luka pada dagu, infeksi pada alat kelamin,
kemungkinan tidak dapat melahirkan anak, penyakit kelamin, inveksi pada
panggul, dan lain-lain.
b.
Dampak secara mental
Antara lain:
sangat takut sendirian, takut pada orang lain, nervous, ragu-ragu (kadang
paranoia), sering terkejut, sangat khawatir, sangat hati-hati dengan orang
asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria, takut dengan
pria, takut akan sex, merasa bahwa orang lain tidak menyukainya, dingin (secara
emosional), sulit berhadapan dengan publik dan temantemannya, membenci apa
saja, menarik diri/mengisolasi diri, mimpi-mimpi buruk, dan lain-lain.
c.
Dampak dalam kehidupan pribadi dan social Antara lain:
ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk,
tidak menyukai sex, sulit jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria,
takut bicara dengan pria, mennghindari setiap pria, dan lain-lain.
B.
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA
Upaya yang dapat
dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan
berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga
yang khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu suatu
informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya,
apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari
kejahatan yang menimpa dirinya.
Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan beberapa
hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam
proses peradilan, yaitu:
1.
compassion, respect and recognition;
2.
receive information
and explanation about the progress of the case;
3.
provide information;
4.
providing proper assistance;
5.
protection of privacy and physical safety;
6.
restitution and compensation;
7.
to access to the
mechanism of justice system.
Sekalipun
hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan berarti kewajiban
dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan
keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu, ada
beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain:
1.
Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim
sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2.
Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya
tindak pidana;
3.
Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya
kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4.
Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan
kepada pelaku;
5.
Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa
dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
6.
Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan kejahatan;
7.
Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri
untuk tidak menjadi korban lagi.
Upaya
perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak semata-mata
merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban
masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban perkosaan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Upaya
perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a.
Perlindungan Oleh Hukum
Secara umum,
adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu
tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum
juga bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan
sebelum kejahatan itu terjadi.
Berdasarkan ilmu
hukum, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak
terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia
diatur dalam:
1.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit,
ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap
korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a
kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum,
bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh
mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian
yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang
akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut
ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana
dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.
2.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III
Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur
tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan perkara
pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari
perlindungan hukum terhadap korban, khususnya korban perkosaan. Jadi selain
pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga
mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Namun selama ini
jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian dalam perkara perkosaan
yang ditanganinya. Meskipun korban mengungkapkannya atau menyampaikannya untuk
sekalian diajukan gugatan ganti kerugian, namun jaksa belum pernah mengajukan
itu dan hakim pun belum pernah mengarah kesitu. Gugatan ganti kerugian hanya
ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja. Prakteknya...???
b.
Perlindungan Oleh Masyarakat
1.
Keluarga
Keluarga
merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu
memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan
selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa
perkosaan yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak
boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa
perkosaan yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia
dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Hal-hal semacam
ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada dasarnya
korban perkosaan adalah merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik
secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan
membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima
pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuat kondisi
kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan
penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga
korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.
2.
Masyarakat
Tidak jauh
berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran penting untuk
membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi
dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian
buruk kepada korban122, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini juga dirasa
sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap
masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat.
Selain itu,
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan juga dilakukan
selama proses peradilan yang dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut:
a.
Sebelum Sidang Pengadilan
Perlindungan
hukum yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan, pertama kali
diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Polri telah membentuk
suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diawaki oleh Polwan yang terwadahi dalam
satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Pada umumnya masyarakat mencibir korban perkosaan dengan
menilai bahwa perkosaan yang terjadi adalah kesalahannya sendiri dan korban
dianggap sengaja memancing terjadinya perkosaan, selain itu tidak jarang
masyarakat menyebut korban perkosaan dengan sebutan wanita nakal dan dianggap
membawa aib dalam masyarakat.
Ruang Pelayanan
Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan
Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan
seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh
pengertian dan professional.
b.
Selama Sidang Pengadilan
Selama proses
sidang pengadilan, korban dalam memberikan kesaksian didampingi oleh anggota
LBH/LSM supaya korban dapat lebih tenang dan tidak merasa takut dalam
persidangan. Mengingat korban masih labil psikisnya dan merasa tertekan setelah
menjalani pemeriksaan selama proses peradilan, maka upaya pendampingan sangat
dibutuhkan oleh korban. Apalagi dalam persidangan, korban harus dipertemukan
lagi dengan pelaku yang dapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhi
kesaksian yang akan diberikan dalam persidangan.
Bentuk-bentuk
perlindungan selama sidang pengadilan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi
Pasal 4 yang berbunyi:
a)
Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman
fisik dan mental,
b)
Perahasiaan identitas korban dan saksi,
c)
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di siding pengadilan
tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Perlindungan
senada juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat (1) huruf a s/d g yang berbunyi:
a)
Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya,
b)
Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan,
c)
Memberikan keterangan tanpa tekanan,
d)
Mendapat penerjemah,
e)
Bebas dari pertanyaan yang menjerat,
f)
Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus,
g)
Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
c.
Setelah Sidang Pengadilan
Setelah pelaku
dijatuhi hukuman oleh hakim, maka sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf h s/d m
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, maka korban berhak mendapatkan perlindungan
yang antara lain sebagai berikut:
a)
Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan,
b)
Mendapatkan identitas baru,
c)
Mendapatkan tempat kediaman baru,
d)
Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan,
e)
Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau,
f)
Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
akhir.
Selama ini belum
ada aparat yang memberikan perlindungan secara maksimal. Upaya negara untuk
memberikan perlindungan dengan peraturan perundang-undangan pun belum maksimal.
Hanya pendamping (LSM/LBH) yang memberikan layanan bagi perempuan korban
perkosaan saja yang selama ini bergerak maksimal.
Meskipun sudah
ada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi apa yang ada di
dalamnya belum dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Penangan kasus perkosaan
juga terlampau panjang karena harus mengikuti prosedur hukum yang membuat
korban menjadi enggan berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan.
Oleh karena itu,
perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem penegakan hukum
yang berkeadilan jender. Perubahan/reformasi ini diharapkan mampu membawa
pemahaman mengenai kepekaan jender bagi aparat penegak hukum agar bersikap
tanggap terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan (perkosaan) yang
dialaminya.
Bicara mengenai
reformasi penegakan hukum yang berkeadilan jender, menyangkut bagaimana sistem
penegakan hukum yang ada mampu mengeluarkan kebijakan yang menjamin perlindungan
terhadap kepentingan dan hak asasi perempuan. Perlindungan dalam proses
penegakan hukum, mulai dari proses pelaporan, pemeriksaan, penyidikan, hingga
persidangan berakhir.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan yang
telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Korban tindak
pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami
penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya.
Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana perkosaan tidak ringan dan
membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bias memulihkannya, maka aparat
penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak
pidana perkosaan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai
produk hukum yang memihak korban.
Dalam konteks
perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif
yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat
penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai
ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum
secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap
pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari
perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. Dari sinilah dasar
filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh
perlindungan.
DAFTAR PUSTAKA
Leden Marpaung, Kejahatan
Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996).
Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).
Romli Atmasasmita, Kapita
Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995).
Lilik Mulyadi, Kapita
Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, (Jakarta: Djambatan,
2004).
Bernard Arief Sidharta, Refleksi
Tentang Strukutur Ilmu Hukum, (Mandar Maju, 1999).
Abdul Wahid dan Muhammad
Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2001).
Achie Sudiarti Luhulima
(Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta: PT.
Alumni, 2000).
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986).
Anonim, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004).
[1] Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah
Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 81.
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002), hal 1-2.
[3] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,
(Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 106.
[4] Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan
Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 135-144.
[5] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Strukutur Ilmu Hukum, (Mandar Maju, 1999), hal.
181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar