Alhamdulillah, segala puji
kepunyaan Allah, Rabb semesta alam.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul
paling mulia, junjungan kita Nabi Muhammad
saw., kepada keluarganya, dan parasahabatnya.
Pada
kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai bid’ah yang
datang dari luar serta sama sekali bukan berasal dari
agama dan bukan dari Islam, bahkan
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.
Satu
hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan
pendapat ulama, bahwa masalah
tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.
Masalah
ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli
fiqih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga
sekarang.
Sebab
perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang
berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman
mereka terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang qath’i tsubut (jalan
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
Mereka
berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: "… Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak
daripadanya …" (an-Nur: 31).
Mereka
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata bahwa yang dimaksud
dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian
dan jilbab, yakni pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.
luar yang tidak mungkin disembunyikan.
Mereka
juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan "apa yang biasa
tampak" itu dengan celak dan cincin. Penafsiran yang sama
juga diriwayatkan dari Anas
bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi diriwayatkan dari
Aisyah. Selain itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan
celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
Ada
pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" disini
ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud ialah) bagian
wajah dan telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Atha’, dan lain-lain.
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Atha’, dan lain-lain.
Sebagian
ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari lengan termasuk "apa yang
biasa tampak" itu. Ibnu
Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya.1
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya.1
Mereka
juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: "Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-isti orang mukmin, ‘Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’
Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (al-Ahzab:
59).
59).
Maka
apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut? Mereka meriwayatkan
dari Ibnu Abbas yang merupakan kebalikan dari
penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari
sebagian tabi’in - Ubaidah as-Salmani -
bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan jilbab" itu dengan penafsiran
praktis (dalam bentuk peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau, dan membuka mata beliau
yang sebelah kiri. Demikian pula yang diriwayatkan dari
Muhammad Ka’ab al-Qurazhi.
Tetapi
penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh Ikrimah, maula (mantan budak)
Ibnu Abbas. Dia berkata, "Hendaklah ia (wanita)
menutup lubang (pangkal)
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan jilbab tersebut atasnya."
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan jilbab tersebut atasnya."
Sa’id
bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita muslimah dilihat
oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan
kain di atas kerudungnya,
dan ia mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2
Dalam
hal ini saya termasuk orang yang menguatkan pendapat yang mengatakan
bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah menutupnya. Karena
menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.
Disamping
itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat
dengan saya, misalnya Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani
dalam kitabnya Hijabul Mar’atil Muslimah
fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama
al-Azhar
di Mesir, ulama Zaitunah di
Tunisia, Qarawiyyin
di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan
lain-lain.
Meskipun
demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma’ ulama sekarang terhadap
pendapat ini juga tidaklah benar, karena di
kalangan ulama Mesir sendiri ada yang
menentangnya. Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama
negara-negara Teluk menentang
pendapat ini, dan sebagai tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul
Aziz bin Baz.
Banyak
pula ulama Pakistan dan India yang menentang pendapat ini, mereka
berpendapat kaum wanita wajib menutup mukanya.
Dan diantara ulama terkenal yang berpendapat demikian
ialah ulama besar dan da’I terkenal, mujaddid Islam
yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.
Adapun
diantara ulama masa kini yang masih hidup yang mengumandangkan wajibnya menutup
muka bagi wanita ialah penulis
kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa’id
Ramadhan al-Buthi,
yang mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu’minu billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman
kepada Allah) .
Disamping
itu, masih terus saja
bermunculan risalah-risalah
dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu yang menganggap aib
jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita
dengan mengatasnamakan agama dan iman agar
mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan agar jangan patuh
kepada ulama-ulama "modern" yang ingin
menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali
mereka memasukkan saya kedalam kelompok ulama seperti ini.
Jika
dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang merasa mantap
dengan pendapat ini, dan menganggap membuka wajah itu haram, dan
menutupnya itu wajib, maka bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya
mengikuti pendapat
lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?
Kami
hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan pendapatnya kepada orang
lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta
menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib
diperangi, padahal
para ulama muhaqiq telah sepakat mengenai tidak
bolehnya menganggap munkar terhadap masalah-masalah ijtihadiyah
khilafiyah.
Kalau
kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan pendapat yang
berbeda dengan pendapat kami – yaitu pendapat yang muttabar dalam
bingkai fiqih Islam yang
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi dan kami seru manusia untuk membebaskan diri daripadanya.
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi dan kami seru manusia untuk membebaskan diri daripadanya.
Bahkan
seandainya wanita muslimah tersebut tidak menganggap
wajib menutup muka, tetapi ia
hanya menganggapnya
lebih wara’ dan lebih takwa
demi
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan khusus?
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan khusus?
Saya
mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini
dengan tidak merujuk kepada sumber-sumber
tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.
Boleh
jadi karena dia bersandar pada
sebagian tulisan-tulisan
ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.
Tidak
seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar
bagi wanita secara umum, kecuali hanya
pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.
Sedangkan
tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang
berpendapat demikian, bahkan yang
memakruhkannya
pun tidak ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur’an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur’an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
Kalau
hal itu hanya sekadar mubah -
sebagaimana pendapat
yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula mustahab - maka
merupakan hak bagi muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang.
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang.
Ada
pepatah Mesir yang menyindir orang yang bersikap demikian: "Seseorang bertopang dagu,
mengapa Anda kesal terhadapnya?"
Hukum
buatan manusia sendiri mengakui
hak-hak perseorangan
ini dan melindunginya. Bagaimana
mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar, sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara’ demikian menurut kesepakatan kaum muslim.
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar, sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara’ demikian menurut kesepakatan kaum muslim.
Kalau
pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang pakaian yang
seronok itu, sudah tentu akan didukung oleh syara’ dan
undang-undang yang telah menetapkan
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok perundang-undangan.
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok perundang-undangan.
Namun
kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya! Sungguh mengherankan! Mengapa
wanita-wanita yang berpakaian
tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
Kemudian
mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap
wanita-wanita bercadar, yang berkeyakinan bahwa
hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
Kepada
Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada
daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan
dengan pertolongan
Catatan
kaki:
1
Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan
pada ad-Durrul Mantsur
(5: 41-42), dan lain-lain.
2
Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222, dan sumber-sumber terdahulu
mengenai penafsiran ayat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar