Jumat, 29 April 2011

MUDHARABAH


PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah adalah salah satu bentuk kerja sama dalam bidang lapangan ekonomi, yang biasa pula disebut qiradh yang berarti al-qath’ (potongan). Kata mudharabah berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al-ardh, bepergian untuk urusan dagang. Menurut bahasa kata Abdurrahman al-Jaziri, mudharabah berarti ungkapan terhadap pemberian harta dari seorang kepada orang lain sebagai modal usaha dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi diantara mereka berdua, dan bila rugi akan ditanggung oleh pemilik modal.

Menurut istilah syarak, mudharabah adalah akad antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu puhak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Menurut istilah yang dikemukakan oleh para ulama, mudharabah adalah sebagai berikut:
1.      Menurut para Fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.      Menurut Hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakat yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah:

“Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”.
3.      Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah:

“Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan”.
4.      Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan, dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.

B.     DASAR HUKUM MUDHARABAH
Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah), adapun dasar hukumnya ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Ada tiga perkara yang diberkati, jual beli yang ditangguhkan, memberi modal dan mencampuri gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual”.
Dalam al-Muwaththa’ Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman Ibn Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman ra sedangkan keuntungannya dibagi dua.
Qiradh menurut Ibnu Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu dan mengakui bahwa sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah ra,yang kemudian menjadi istri beliau.

C.    RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah ada enam, yaitu:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2.      Yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
3.      Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4.      Mal, yaitu harta pokok atau modal.
5.      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6.      Keuntungan.
Menurut Sayyid Sabiq, bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang dikeluarkan dari orang yang memiliki keahlian.
Adapun syarat sah mudharabah berhubungan dengan ruku-rukun mudharabah itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
1.      Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai, maka bila barang itu berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut adalah batal.
2.      Bagi yang melakukan akad disyaratkan mampu melaksanakan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
3.      Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4.      Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas prosentasenya, umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5.      Melafazhkan ijab dari yang punya modal dan ada kabul dari pengelola.
6.      Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu tertentu, karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah yaitu keuntungan.

D.    TINDAKAN SETELAH MATINYA PEMILIK MODAL
Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh (batal), bila mudharabah telah batal maka pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertidak menggunakan modal tersebut sedangkan ia tahu bahwa pemilik modal telah meninggal dunia dan tanpa izin para ahli warisnya, maka perbuatan itu dianggab sebagai ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh sedangkan modal berbentuk barang dagangan maka pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena demikian itu adalah hak berdua, jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya karena pengelola punya hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian menurut pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali.

E.     PEMBATALAN MUDHARABAH
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
1.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah saru syarat itu tidak terpenuhi sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntunganya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak untuk menerima upah. Jika terdapat keuntungan maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal, karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2.      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian tersebut.
3.      Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah satu pemilik modal meninggal dunia maka mudharabah menjadi batal.
DAFTAR PUSTAKA

Suhendri, Hendi, Haji, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahabib al-Arba’ah, Jilid III (Beirut: Daral-Fikr, 1986), hlm,34.
Karim, Helmi, Fiqh Mualamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cetakan ke III 2002.
Prof. Dr. Shalaby, Ahmad, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, AMZAH, cetakan pertama 2001.
Muhammad Syafi.i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani 2001).
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, Prospek. (Serambi: Jakarta 2001).
DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama).

Tidak ada komentar: