PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah adalah salah satu bentuk kerja sama dalam bidang lapangan
ekonomi, yang biasa pula disebut qiradh yang
berarti al-qath’ (potongan). Kata
mudharabah berasal dari akar kata dharaba
pada kalimat al-dharb fi al-ardh, bepergian
untuk urusan dagang. Menurut bahasa kata Abdurrahman al-Jaziri, mudharabah
berarti ungkapan terhadap pemberian harta dari seorang kepada orang lain
sebagai modal usaha dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi diantara
mereka berdua, dan bila rugi akan ditanggung oleh pemilik modal.
Menurut istilah syarak, mudharabah adalah akad antara dua pihak untuk
bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu puhak memberikan dana
kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi
diantara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Menurut istilah yang dikemukakan oleh para ulama, mudharabah adalah
sebagai berikut:
1.
Menurut para Fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua
pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada
pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan.
2.
Menurut Hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan
dua pihak yang berakat yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta
diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka
mudharabah ialah:
“Akad syirkah dalam laba,
satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”.
3.
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah:
“Akad perwakilan, dimana
pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan
dengan pembayaran yang ditentukan”.
4.
Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara
dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan, dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
B. DASAR HUKUM MUDHARABAH
Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah), adapun dasar
hukumnya ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib RA,
bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
“Ada tiga perkara yang diberkati, jual beli
yang ditangguhkan, memberi modal dan mencampuri gandum dengan jelai untuk
keluarga, bukan untuk dijual”.
Dalam al-Muwaththa’ Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman Ibn
Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman
ra sedangkan keuntungannya dibagi dua.
Qiradh menurut Ibnu Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu
dan mengakui bahwa sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan
qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual
barang-barang milik Khadijah ra,yang kemudian menjadi istri beliau.
C. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah ada enam, yaitu:
1. Pemilik barang yang menyerahkan
barang-barangnya.
2. Yang bekerja, yaitu mengelola barang yang
diterima dari pemilik barang.
3. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik
dengan pengelola barang.
4. Mal, yaitu harta pokok atau modal.
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta
sehingga menghasilkan laba.
6. Keuntungan.
Menurut Sayyid Sabiq, bahwa
rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang dikeluarkan dari orang yang
memiliki keahlian.
Adapun syarat sah mudharabah
berhubungan dengan ruku-rukun mudharabah itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
1. Modal atau barang yang diserahkan itu
berbentuk uang tunai, maka bila barang itu berbentuk mas atau perak batangan
(tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut adalah
batal.
2. Bagi yang melakukan akad disyaratkan mampu
melaksanakan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang
gila dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
3. Modal harus diketahui dengan jelas, agar
dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan
dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati.
4. Keuntungan yang akan menjadi milik
pengelola dan pemilik modal harus jelas prosentasenya, umpamanya setengah,
sepertiga atau seperempat.
5. Melafazhkan ijab dari yang punya modal dan
ada kabul dari pengelola.
6. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal
tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu,
memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu tertentu, karena persyaratan
yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah yaitu keuntungan.
D.
TINDAKAN SETELAH MATINYA PEMILIK MODAL
Jika pemilik modal meninggal
dunia, maka mudharabah menjadi fasakh (batal), bila mudharabah telah batal maka
pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola
bertidak menggunakan modal tersebut sedangkan ia tahu bahwa pemilik modal telah
meninggal dunia dan tanpa izin para ahli warisnya, maka perbuatan itu dianggab
sebagai ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu
menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh
sedangkan modal berbentuk barang dagangan maka pemilik modal dan pengelola
modal menjual atau membaginya karena demikian itu adalah hak berdua, jika
pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan sedangkan pemilik modal
tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya karena pengelola punya hak dalam
keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian
menurut pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali.
E.
PEMBATALAN MUDHARABAH
Mudharabah menjadi batal
apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau
beberapa syarat mudharabah. Jika salah saru syarat itu tidak terpenuhi sedangkan
modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola
mendapatkan sebagian keuntunganya sebagai upah, karena tindakannya atas izin
pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak untuk menerima upah. Jika terdapat
keuntungan maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian maka
kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal, karena pengelola adalah
sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab
sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan
tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal
bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian
tersebut.
3. Apabila pelaksana atau pemilik modal
meninggal dunia atau salah satu pemilik modal meninggal dunia maka mudharabah
menjadi batal.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendri,
Hendi, Haji, Fiqh Muamalah, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahabib al-Arba’ah, Jilid III (Beirut:
Daral-Fikr, 1986), hlm,34.
Karim,
Helmi, Fiqh Mualamalah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, Cetakan ke III 2002.
Prof. Dr.
Shalaby, Ahmad, Kehidupan Sosial Dalam
Pemikiran Islam, AMZAH, cetakan pertama 2001.
Muhammad Syafi.i antoni, Bank Syari’ah
dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani 2001).
Mervyn K. Lewis dan Latifa M.
Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, Prospek. (Serambi: Jakarta 2001).
DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh
Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar