BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam
banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami
sebagai suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau
kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan
manusia pada saat akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena
setiap manusia mempunyai keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang
dimilikinya.
Pilihan
yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi,
investasi, serta kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah
masyarakat. Intinya, pembahasan ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami
bagaimana masyarakat mengalokasikan keterbatasan (kelangkaan) sumber
daya yang dimilikinya.
Ilmu
ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumber daya
yang langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa,
cara-cara memperoleh barang dan jasa, kegiatan konsumsi, yakni kegiatan
pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup, kegiatan
investasi, yakni kegiatan pengembangan kepemilikan kekayaan yang
dimiliki; serta kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang
dan jasa yang ada di tengah-tengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi
mulai dari produksi, konsumsi, investasi, serta distribusi barang dan
jasa tersebut dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dipaparkan dalam
berbagai literatur ekonomi kapitalis.
B. TUJUAN PENULISAN
a. Tujuan Umum
1. Mengetahui bagaimana Islam memahami tentang peningkatan barang dan jasa?
2. Bagaimana tata cara ekonomi memanfaatkan barang dan jasa?
b. Tujuan Khusus
1. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir pada jurusan Syari’ah Muamalah wal
Iqtishad di Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
2. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa IAIN Ar-Raniry untuk mempelajari mata kuliah Tafsir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PRODUKTIVITAS BARANG DAN JASA
Ilmu
ekonomi, menurut pandangan Islam, adalah ilmu yang membahas tentang
prsoses pengadaan dan peningkatan produktivitas barang dan jasa artinya
berkaitan dengan aspek produksi. Harta kekayaan sifatnya ada secara
alami. Upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya pun dilakukan
manusia secara universal. Oleh karena itu, pembahasan tentang ilmu
ekonomi merupakan pembahasan yang universal pula sesuai dengan
perkembangan sains dan teknologi. Karena ilmu ekonomi tidak dipengaruhi
oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat universal, maka ia
dapat diambil dari manapun selama bermanfaat.
Menurut
Az-Zein (1981) dan juga An-Nabhaniy (1995), Islam membedakan pembahasan
ekonomi dari segi pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan
jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi tatacara memperoleh,
memanfaatkan, dan mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi
dari
segi yang pertama dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sementara itu, pembahasan ekonomi dari segi yang kedua dimasukan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.
segi yang pertama dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sementara itu, pembahasan ekonomi dari segi yang kedua dimasukan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.
Sedangkan
sistem ekonomi terkait dengan masalah kepemilikan harta kekayaan serta
bagaimana cara memanfaatkan, mengembang-kan, dan mendistribusikannya
kepada masyarakat.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, Islam membedakan pembahasan ekonomi
dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling
efisien yang dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi dengan pembahasan
ekonomi dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara
mendistribusikan barang dan jasa yang dimasukkan ke dalam pembahasan sistem ekonomi Islam.
mendistribusikan barang dan jasa yang dimasukkan ke dalam pembahasan sistem ekonomi Islam.
Hal
ini dapat diketahui dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam
berupa al-Quran dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw.
bersabda:
”Dua
telapak kaki manusia akan selalu tegak (di hadapan Allah) hingga ia
ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya untuk apa
ia pergunakan; tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia
pergunakan; dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan. (HR at-Turmudzi
dari Abu Barzah r.a.)”
Hadis
di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan dimintai
pentanggungjawabannya atas empat perkara: umur, ilmu, harta, dan
tubuhnya. Tentang umur, ilmu, dan tubuhnya, setiap orang hanya ditanya
dengan
masing-masing satu pertanyaan. Tentang harta, setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana harta diperoleh dan untuk apa harta dipergunakan.
masing-masing satu pertanyaan. Tentang harta, setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana harta diperoleh dan untuk apa harta dipergunakan.
Dengan
demikian, Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar terhadap
aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain, Islam
memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi yang nantinya akan
terlaksana dengan adanya barang serta jasa yang diberikan.
B. MEKANISME PASAR
Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi barang dan jasa.
Mekanisme
pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan
jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah
firman Allah Swt.:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama
kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa’: 29)”.
Tidak
sekadar diizinkan, Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur
mekanisme ini. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang
merusak mekanisme pasar. Islam, misalnya, melarang praktik penimbunan
barang (al-ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat
menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan
bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang.
Demikian pula penimbunan emas dan perak:
”
dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih (QS al-Taubah: 34)”.
Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan itu jelas merusak prinsip ‘an tarâdh[in] (yang
dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi (barang dan jasa).
Padahal merekalah yang paling tahu berapa seharusnya harga barang itu
dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka,
kebijakan ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah
pihak.
Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan deviasi (ketimpangan) harga.
Pada
umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena
ada unsur kesetaraan. Karena itu, harga barang ditentukan oleh kualitas
barang. Namun, akibat praktik at-tadlîs yakni menutupi keburukan
atau cacat pada komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik barang
yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya.
Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan
harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan
transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Akibatnya, penjual
atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah
atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan
deviasi harga.
Apabila
berbagai hukum itu dipraktikkan, akan tercipta pasar yang benar-benar
bersih dan fair. Para produsen yang menginginkan barangnya berharga
mahal akan kreatif memproduksi barang yang benar-benar berkualitas.
bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok
tinggi harga barangnya; yang merugikan pihak lain.
Kendati
telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang
tersingkir dari mekanisme pasar itu dengan berbagai sebab, seperti cacat
fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal
yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena
mereka tidak bisa ‘menjual’ sesuatu, maka mereka pun tidak bisa
memperoleh pendapatan. Padahal kebutuhan primer mereka tetap harus
dipenuhi. Lalu dari manakah mereka memperoleh pendapatan?
C. MEKANISME NON PASAR
Karena
itulah, di samping mekanisme pasar, Islam menyediakan mekanisme
nonpasar, yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi
pertukaran barang dan jasa. Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain.
Mekanisme
bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan.
Dengan mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat bangkit untuk kembali
berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan modal dari mekanisme nonpasar
itu.
Dalam
Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme
pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya membayar
zakat. Harta itu kemudian disalurkan kepada delapan golongan, yang
sebagian besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan.
Sebagai
sebuah kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran
orang-perorang. Negara juga harus proaktif mengambilnya dari kaum
Muslim:
”Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[1]
dan mensucikan[2] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui (QS at-Taubah: 103),”
[1] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[2] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Sebagaimana
yang dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk membayar
zakat beliau perangi hingga menyerahkan zakatnya.
Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Semua
jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian
pula hibah, hadiah, dan wasiat, termasuk pula pembagian harta waris.
Negara juga bisa memberikan tanah kepada warganya.
Dengan
adanya dua mekanisme itulah Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan
primer setiap warganya sehingga produktifitas barang dan jasa
terlaksana.
D. PROBLEMATIKA EKONOMI DAN SOLUSINYA
Terdapat
perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
lainnya, khususnya Kapitalisme dalam memandang apa sesungguhnya yang
menjadi permasalahan ekonomi manusia.
Menurut
sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah
kelangkaan barang dan jasa. Alasannya, setiap manusia mempunyai
kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas, sementara
sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
manusia terbatas.
Kebutuhan
yang dimaksud mencakup kebutuhan dan keinginan. Menurut pandangan ini,
pengertian antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama,
yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan
yang ada pada diri manusia menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan
sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Karena kebutuhan
manusia jumlahnya tidak terbatas, sementara alat dan sarana yang
digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.
Berbeda
dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa
problem ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan
di tengah masyarakat. Menurut Islam, pandangan
sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan pengertian kebutuhan dengan
keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan
manusia memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari
waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan manusia ada yang sifatnya pokok
dan ada yang sifatnya pelengkap yakni berupa kebutuhan sekunder dan
tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang, dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas.
Setiap
orang yang telah kenyang memakan makanan tertentu, pada saat itu
sebenarnya, kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk
memakan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian
tertentu, meskipun hanya beberapa potong saja, sebenarnya kebutuhannya
akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati
rumah tertentu untuk tempat tinggal, meskipun hanya dengan jalan
menyewa, sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi.
Jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia
sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang
berarti.
Sementara
itu, kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier)
memang pada kenyataannya selalu berkembang terus seiring dengan tingkat
kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun, perlu
ditekankan di sini, bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat
tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya
terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani
kehidupannya tanpa kesulitan berarti.
Keinginan
manusia memang tidak terbatas. Sebagai contoh, seseorang yang sudah
dapat makan kenyang kebutuhan akan makanan sudah terpenuhi tentunya ia
dapat saja menginginkan makanan lainnya sebagai variasi dari makanannya.
Demikian pula seseorang yang telah berpakaian kebutuhan akan pakaian
telah terpenuhi tentunya dapat pula menginginkan pakaian lainnya yang
lebih bagus dan lebih mahal.
Oleh
karena itu, kebutuhan pokok manusia sifatnya terbatas, sementara
keinginan manusia memang tidak pernah akan habis selama ia masih hidup.
Oleh karena itulah, pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan
antara kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai
dengan fakta yang ada.
Oleh
karena itulah, permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika
kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara
itu, barang dan jasa yang ada, kalau sekadar untuk memenuhi kebutuhan
pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi.
BAB III
PENUTUP
Berbagai
kegiatan ekonomi (pengadaan barang dan jasa) berjalan dalam rangka
mencapai satu tujuan, yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh bagi
setiap individu rakyat Muslim dan non-Muslim yang hidup dimuka bumi.
Hal
ini karena semua kegiatan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan kebutuhan
hidup, yakni menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok
(primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, pemenuhan
berbagai kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan
kemampuan mereka.
Hal
seperti ini pada akhirnya akan menciptakan kehidupan ekonomi yang
sejahtera, penuh ketenangan dan kesederhanaan, namun tetap produktif dan
inovatif yang secara langsung maupun tidak langsung semua itu
terlaksana karena adanya faktor yang menyertainya (barang dan jasa).
Dalam
Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya
ekonomi ( barang) juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan
pengaturan kembali keadaannya (jasa), tidak seorang pun lebih baik
dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur'an
atau Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Terjemahan Departemen Agama RI
Fuad Mohd Fachruddin, 1983, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseoran & Asuransi, Alma'arif, Bandung.
Muhammad Abdul Mannan, 1993, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bhakti Wakaf.
Robert L. Heilbroner, 1986, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press.
Winardi, 1986, Kapitalisme Versus Sosialisme, Remadja Karya, Bandung.
Deliarnov, 1995, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Garfindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar