Rabu, 27 April 2011

BARANG DAN JASA

BAB I

PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Dalam banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami sebagai suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan manusia pada saat akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena setiap manusia mempunyai keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang dimilikinya.
Pilihan yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi, investasi, serta kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Intinya, pembahasan ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami bagaimana masyarakat mengalokasikan keterbatasan (kelangkaan) sumber daya yang dimilikinya.
Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumber daya yang langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, cara-cara memperoleh barang dan jasa, kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup, kegiatan investasi, yakni kegiatan pengembangan kepemilikan kekayaan yang dimiliki; serta kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada di tengah-tengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, investasi, serta distribusi barang dan jasa tersebut dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dipaparkan dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

B.     TUJUAN PENULISAN
a.      Tujuan Umum
1.      Mengetahui bagaimana Islam memahami tentang peningkatan barang dan jasa?
2.      Bagaimana tata cara ekonomi memanfaatkan barang dan jasa?
b.      Tujuan Khusus
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir pada jurusan Syari’ah Muamalah wal Iqtishad di Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
2.      Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa IAIN Ar-Raniry untuk mempelajari mata kuliah Tafsir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     PRODUKTIVITAS BARANG DAN JASA
Ilmu ekonomi, menurut pandangan Islam, adalah ilmu yang membahas tentang prsoses pengadaan dan peningkatan produktivitas barang dan jasa artinya berkaitan dengan aspek produksi. Harta kekayaan sifatnya ada secara alami. Upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya pun dilakukan manusia secara universal. Oleh karena itu, pembahasan tentang ilmu ekonomi merupakan pembahasan yang universal pula sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Karena ilmu ekonomi tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat universal, maka ia dapat diambil dari manapun selama bermanfaat.
Menurut Az-Zein (1981) dan juga An-Nabhaniy (1995), Islam membedakan pembahasan ekonomi dari segi pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi tatacara memperoleh, memanfaatkan, dan mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi dari
segi yang pertama dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sementara itu, pembahasan ekonomi dari segi yang kedua dimasukan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.
Sedangkan sistem ekonomi terkait dengan masalah kepemilikan harta kekayaan serta bagaimana cara memanfaatkan, mengembang-kan, dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Islam membedakan pembahasan ekonomi dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling efisien yang dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi dengan pembahasan ekonomi dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara
mendistribusikan barang dan jasa yang dimasukkan ke dalam pembahasan sistem ekonomi Islam.
Hal ini dapat diketahui dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam berupa al-Quran dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:

”Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (di hadapan Allah) hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan; tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan; dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan. (HR at-Turmudzi dari Abu Barzah r.a.)”
Hadis di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan dimintai pentanggungjawabannya atas empat perkara: umur, ilmu, harta, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu, dan tubuhnya, setiap orang hanya ditanya dengan
masing-masing satu pertanyaan. Tentang harta, setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana harta diperoleh dan untuk apa harta dipergunakan.
Dengan demikian, Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar terhadap aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain, Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi yang nantinya akan terlaksana dengan adanya barang serta jasa yang diberikan.

B.     MEKANISME PASAR
Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi barang dan jasa.
Mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa’: 29)”.
Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Islam, misalnya, melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan perak:
” dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS al-Taubah: 34)”.
Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan itu jelas merusak prinsip ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi (barang dan jasa). Padahal merekalah yang paling tahu berapa seharusnya harga barang itu dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka, kebijakan ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan deviasi (ketimpangan) harga.
Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Karena itu, harga barang ditentukan oleh kualitas barang. Namun, akibat praktik at-tadlîs yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya.
Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Akibatnya, penjual atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.
Apabila berbagai hukum itu dipraktikkan, akan tercipta pasar yang benar-benar bersih dan fair. Para produsen yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi barang yang benar-benar berkualitas. bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya; yang merugikan pihak lain.
Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar itu dengan berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena mereka tidak bisa ‘menjual’ sesuatu, maka mereka pun tidak bisa memperoleh pendapatan. Padahal kebutuhan primer mereka tetap harus dipenuhi. Lalu dari manakah mereka memperoleh pendapatan?

C.     MEKANISME NON PASAR
Karena itulah, di samping mekanisme pasar, Islam menyediakan mekanisme nonpasar, yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain.
Mekanisme bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Dengan mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan modal dari mekanisme nonpasar itu.
Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya membayar zakat. Harta itu kemudian disalurkan kepada delapan golongan, yang sebagian besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan.
Sebagai sebuah kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran orang-perorang. Negara juga harus proaktif mengambilnya dari kaum Muslim:
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[1] dan mensucikan[2] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (QS at-Taubah: 103),”
[1]  Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[2]  Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk membayar zakat beliau perangi hingga menyerahkan zakatnya.
Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat, termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa memberikan tanah kepada warganya.
Dengan adanya dua mekanisme itulah Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya sehingga produktifitas barang dan jasa terlaksana.
D.    PROBLEMATIKA EKONOMI DAN SOLUSINYA
Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, khususnya Kapitalisme dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi manusia.
Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan barang dan jasa. Alasannya, setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas, sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas.
Kebutuhan yang dimaksud mencakup kebutuhan dan keinginan. Menurut pandangan ini, pengertian antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Karena kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problem ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan pengertian kebutuhan dengan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan manusia memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan manusia ada yang sifatnya pokok dan ada yang sifatnya pelengkap yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang, dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas.
Setiap orang yang telah kenyang memakan makanan tertentu, pada saat itu sebenarnya, kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk memakan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu, meskipun hanya beberapa potong saja, sebenarnya kebutuhannya akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal, meskipun hanya dengan jalan menyewa, sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
Sementara itu, kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) memang pada kenyataannya selalu berkembang terus seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun, perlu ditekankan di sini, bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti.
Keinginan manusia memang tidak terbatas. Sebagai contoh, seseorang yang sudah dapat makan kenyang kebutuhan akan makanan sudah terpenuhi tentunya ia dapat saja menginginkan makanan lainnya sebagai variasi dari makanannya. Demikian pula seseorang yang telah berpakaian kebutuhan akan pakaian telah terpenuhi tentunya dapat pula menginginkan pakaian lainnya yang lebih bagus dan lebih mahal.
Oleh karena itu, kebutuhan pokok manusia sifatnya terbatas, sementara keinginan manusia memang tidak pernah akan habis selama ia masih hidup. Oleh karena itulah, pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan antara kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Oleh karena itulah, permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu, barang dan jasa yang ada, kalau sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi.
BAB III
PENUTUP
Berbagai kegiatan ekonomi (pengadaan barang dan jasa) berjalan dalam rangka mencapai satu tujuan, yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh bagi setiap individu rakyat Muslim dan non-Muslim yang hidup dimuka bumi.
Hal ini karena semua kegiatan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan kebutuhan hidup, yakni menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, pemenuhan berbagai kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Hal seperti ini pada akhirnya akan menciptakan kehidupan ekonomi yang sejahtera, penuh ketenangan dan kesederhanaan, namun tetap produktif dan inovatif yang secara langsung maupun tidak langsung semua itu terlaksana karena adanya faktor yang menyertainya (barang dan jasa).
Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi ( barang) juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya (jasa), tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur'an atau Sunnah.
 DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Terjemahan Departemen Agama RI
Fuad Mohd Fachruddin, 1983, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseoran & Asuransi, Alma'arif, Bandung.
Muhammad Abdul Mannan, 1993, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bhakti Wakaf.
Robert L. Heilbroner, 1986, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press.
Winardi, 1986, Kapitalisme Versus Sosialisme, Remadja Karya, Bandung.
Deliarnov, 1995, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Garfindo Persada


Tidak ada komentar: